Lihat ke Halaman Asli

Kasus Hukum dan Analisis Menggunakan Filsafat Hukum Positivisme

Diperbarui: 19 September 2024   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Tugas Sosiologi Hukum

Dosen : Dr. Muhammad Julijanto, S.Ag., M.Ag.

Nama : Sherina Khoirunnisa

NIM    : 222111166

Kelas : HES 5E

  • Kasus Hukum 

Kasus pencurian 3 kakao dengan terdakwa Nenek Minah yang tertuang dalam Putusan No.247/PID.B/2009/PN.Pwt itu menjadi referensi Jaksa Agung ataupun Kapolri. Nenek Minah dihukum karena mengambil biji kakao dari Perkebunan Rumpun Sari Antan (RSA). Meskipun ia telah mengembalikan biji kakao tersebut dan meminta maaf, pengadilan tetap memutuskan bahwa ia bersalah berdasarkan Pasal 362 KUHP yang mengatur tentang pencurian.

Filsafat hukum positivisme, seperti yang diajarkan oleh tokoh seperti Hart dan John Austin, memandang hukum sebagai sistem norma yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan berlaku secara objektif. Dalam pandangan ini, hukum tidak mempertimbangkan moralitas atau konteks sosial di luar teks hukum itu sendiri. Oleh karena itu, dalam perspektif positivisme, keputusan pengadilan yang menjatuhkan hukuman kepada Nenek Minah adalah sah secara hukum karena ia melanggar norma hukum yang berlaku, meskipun mungkin ada pertimbangan moral yang menunjukkan bahwa hukuman tersebut tidak adil.

  • Mazhab Hukum Positivisme

1. Penerapan Hukum yang Objektif dan Formal: Menurut pandangan positivisme, hukum dilihat sebagai norma objektif yang ditetapkan oleh otoritas sah dan harus ditegakkan sesuai dengan teksnya. Dalam kasus ini, pengadilan menerapkan Pasal 362 KUHP secara tegas tanpa memperhitungkan niat atau keadaan sosial Nenek Minah. Positivisme tidak memperhatikan moralitas atau keadilan sosial, tetapi fokus pada apakah tindakan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Nenek Minah dinyatakan bersalah karena secara formal tindakannya memenuhi unsur pencurian menurut pasal tersebut.

2. Pemisahan Hukum dan Moral: Pandangan H.L.A. Hart dalam mazhab positivisme menyatakan bahwa hukum yang berlaku (das sein) tidak harus sesuai dengan apa yang dianggap moral atau adil (das sollen). Dalam kasus ini, meskipun secara moral tindakan Nenek Minah bisa dianggap tidak signifikan atau bahkan dapat dimaklumi karena telah mengembalikan biji kakao dan meminta maaf, hukum tetap memutuskan bahwa ia melanggar aturan hukum formal, yaitu mencuri, yang menurut undang-undang harus dihukum.

3. Hukum sebagai Perintah Penguasa (John Austin): Dalam pandangan Austin, hukum adalah perintah dari otoritas yang sah dan harus ditaati tanpa memperhatikan faktor luar seperti keadilan sosial. Dalam kasus ini, pengadilan menerapkan undang-undang yang berlaku sebagai perintah dari penguasa (lembaga legislatif), tanpa memperhatikan konteks kemiskinan atau permintaan maaf Nenek Minah.

4. Penegakan Kepastian Hukum: Positivisme menekankan pentingnya kepastian hukum, di mana hukum harus diterapkan secara konsisten dan dapat diprediksi. Meskipun ada faktor-faktor lain yang mungkin relevan dalam menilai keadilan kasus ini, penerapan hukum secara konsisten menciptakan kepastian hukum bagi semua pihak, seperti yang terlihat dalam keputusan pengadilan terhadap Nenek Minah.

  • Argumen tentang tentang mazhab hukum positivisme dalam hukum di Indonesia

Mazhab hukum positivisme dalam konteks hukum di Indonesia memiliki keunggulan dalam memberikan kepastian dan kejelasan dalam penerapan aturan. Dengan positivisme, hukum ditegakkan berdasarkan teks yang ada, tanpa memandang latar belakang sosial atau moral, sehingga menciptakan ketegasan dan keadilan yang objektif. Namun, pendekatan ini juga menimbulkan masalah, terutama ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang melibatkan keadilan sosial. Misalnya, dalam kasus Nenek Minah, penerapan hukum secara kaku tanpa mempertimbangkan kondisi hidupnya bisa dianggap tidak adil. Di Indonesia, yang menjunjung tinggi prinsip keadilan sosial, hukum perlu lebih fleksibel agar bisa mempertimbangkan aspek moral dan kemanusiaan. Jadi, walaupun positivisme penting untuk menjaga ketertiban hukum, pendekatan yang lebih adaptif juga diperlukan untuk memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat.


Kesimpulan diatas yaitu

Kasus Nenek Minah menunjukkan bagaimana penerapan filsafat hukum positivisme dapat menghasilkan keputusan yang sah secara hukum tetapi mungkin tidak mencerminkan keadilan sosial. Meskipun positivisme memberikan kerangka kerja untuk kepastian hukum, tantangan tetap ada dalam mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan dalam praktik penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, perlu ada pendekatan progresif dalam penegakan hukum yang mempertimbangkan konteks sosial dan moral agar dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline