Lihat ke Halaman Asli

You are My Everything

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Matanya tak sejernih dulu. Kini rambutnya mulai memudar menjadi lautan putih, kerut wajahnya memperjelas akan statusnya kini menjadi seorang kakek. Semuanyaberganti, tak seperti ketika aku duduk di bangku TK. Sekarang ayah serba putih, dari rambutnya, jenggotnya, juga kumisnya. Tetapi yang tak pernah berubah dari ayah adalah kulitnya yang hitam menandakan kewibawaanya. Walau begitu, badan ayah yang kuat tetap memberikan kekuatan kepadanya untuk tetap bekerja. Kesehatan ayah memang tak seperti dulu. Seperti orang tua lainnya yang terkena penyakit di masa tua, begitu juga ayahku. Di sini kelemahanku dan keluarga, ketika ayah harus berbaring untuk istirahat karena sakit.

Selalu seperti itu, mungkin ini sudah menjadi kebiasaan ayah. Ayah selalu bangun pagi sebelum subuh, bahkan di waktu tahajud. Tak bosan-bosannya ayah mengajak aku sekeluarga untuk bersujud kepadanya. Walaupun terkadang aku, kakak dan adik selalu bermalas-malasan. Ayah memang sangat berwibawa, beliau sosok yang sabar dan ikhlas dalam menghadapi realita kehidupan. Aku selalu ingat pesan beliau “ Nak, kapanpun, dimanapun, dan kepada siapapun lakukan segala sesuatu dengan ikhlas. Kalau kita ikhlas, rasa capek, letih bahkan lelah pun tidak akan terasa. Tapi kalau kita tidak ikhlas, semua akan terasa berat. “ Itu pesan ayah yang tak pernah aku lupakan. Bahkan menjadikan kunci untukku, kakak juga adik untuk ke depannya. Memang nyata, bahkan menjadi saksi kehidupan ayah, kesuksesannya hampir 75% karena keikhlasannya dalam beraktivitas. Sosok ayah memang paling super di duni ini, tak ada yang bisa menggantikannya.

Dan yang tak pernah aku lupakan seumur hidup ini adalah ayah ketika mengikhlaskan pekerjaanya demi keluarga. Dulu ketika ayah ditugaskan di luar kota, ibuku mengandung. Pada waktu itu ayah dihadapkan dalam dua pilihan, antara tetap bekerja atau pulang demi keluarga. Dengan ketentuan apabila ayah pulang, maka ayah akan dilepas jabatan bahkan tempat kerjanya. Waktu itu memang belum ada keringanan. Ayah bimbang dalam pilihannya, kalau ayah pulang semua berakhir. Tetapi kalau ayah tidak pulang, bagaimana dengan ibu yang juga mendapat dua pilihan. Kata dokter adik akan lahir dengan tidak normal. Dan ibuku dihadapkan juga dalam dua pilihan antara ibu tetap bertahan atau adik yang akan lahir. Aku sekeluarga benar-benar sedih. Aku dan keluarga hanya bisa berdoa yang terbaik. Dokter juga akan mengusahakan yang terbaik.

Pilihan ayah sudah bulat. Ayah memutuskan untuk pulang demi ibu dan keluarga. Kata ayah rizki sudah diatur sama Yang Diatas, toh mungkin itu belum rizki ayah. Masih banyak jalan untuk kedepannya. Ayah pun terbang kembali ke kampung halaman. Ayah menemani ibu hingga bayi itu lahir. Ayah selalu menenangkan ibu dengan keadaan yang memang antara mungkin dan tidak mungkin. Waktu kelahiran tiba, dan benar-benar keajaiban yang tak ternilai. Bayi itu lahir dan ibu tetap bertahan. Walaupun terlahir dengan operasi tetapi semua selamat. Begitu rasa syukur untuk ayah, ibu dan keluarga.

Pelajaran banyak dari sosok ayah. Selalu berfikir perlahan tapi pasti. Dan selalu menjadikan keikhlasan, kesabaran, juga rasa syukur sebagai kunci kesuksesan. Ayah memang lelaki paling top di dunia ini. Tak bosan-bosannya ayah mengingatkan anak-anaknya. Hidup itu tidak hanya mencari harta, jabatan, dan karir. Selama kita masih bisa berbagi, berbagilah. Dan kata-kata ayah kini selalu menempel dibenakku. Sampai kapanpun aku akan selalu sayang ayah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline