Latar Belakang
Transportasi sekarang sudah didukung dengan mesin sebagai sebuah kemajuan teknologi. Hal tersebut memudahkan manusia dalam beraktivitas, dengan banyaknya kemudahan yang ditawarkan sehingga permasalahan transportasi di negara berkembang lambat-laun mulai muncul. Termasuk di daerah pariwisata seperti Yogyakarta, yang setiap tahunnya tentu selalu menarik pengunjung baik lokal maupun asing untuk singgah. Berdampak naiknya volume kendaraan tidak diimbangi dengan jumlah serta kapasitas jalan yang ada akan mengakibatkan kemacetan dan perilaku masyarakat yang mengabaikan peraturan berlalu lintas di jalan raya. Kemudian terjadilah kegagalan sistem transportasi antara lain: pembangunan jalan yang menyingkirkan masyarakat akibat pembebasan lahan, perambahan ruang-ruang jalan oleh pedagang kaki lima, penggunaan ruang untuk parkir secara ilegal. Salah satu contoh nyatanya adalah di jalan Parangtritis km. 2, deretan pasar Prawirotaman dimana bahu jalan daerah tersebut dimanfaatkan sebagai lahan parkir. Semua permasalahan tersebut secara tak langsung berkaitan erat dengan politik ruang publik.
Pembahasan
Ruang publik merupakan suatu ruang atau wilayah dimana individu satu dengan yang lainnya dapat bertemu dan saling berinteraksi. Menurut Hannaah Arendt idealnya ruang publik harus bebas dari dominasi dan semua individu di dalamnya adalah setara. Ketika mereka tidak memiliki hak yang sama atas ruang publik tersebut maka ruang publik beralihfungsi menjadi ruang privat. Sama halnya pada Jalan Parangtritis km. 2, deretan pasar Prawirotaman yang terdapat jajaran kafe. Permasalahannya adalah semakin berkembangnya ruang publik borjuis di daerah tersebut mengakibatkan para pengunjung kafe membutuhkan tempat untuk memarkirkan kendaraan mereka. Sehingga solusinya, penggunaan bahu jalan yang berubah fungsi menjadi tempat parkir, khususnya pada jalur sepeda. Penggunaan jalan yang tidak semestinya tentu menimbulkan dampak, mulai dari kemacetan pada jam-jam sibuk maupun mengganggu kepentingan pengguna jalan yang lain.
Menurut Perda Kota Yogyakarta No. 2 Tahun 2010 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Yogyarta (RTRW Kota Yogyakata), Pasal 31. Jalan Parangtritis diklasifikasikan sebagai jaringan jalan kolektor sekunder harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya: Didesain berdasarkan kecepatan rencana paling rendah 20 km/jam dengan lebar badan jalan paling sedikit sembilan meter. Kriteria lainnya disebutkan bahwa pada jalan kolektor sekunder, lalu lintas cepat tidak boleh terganggu oleh lalu lintas lambat. Karena itu disediakan jalur sepeda, sebagai lalu lintas lambat agar lalu-lintas cepat tidak terganggu.
Desain jalur sepeda di Jalan Parangtritis Km. 2 adalah jalur sepeda sebagai bagian jalur lalu lintas yang hanya dipisah dengan marka jalan atau warna jalan yang berbeda, bukan sebagai jalur khusus sepeda yang memiliki definisi dimana lalu lintas untuk sepeda dipisah secara fisik dari jalur lalu lintas kendaraan bermotor dengan pagar pengaman. Ukuran lebar jalan sembilan meter yang sudah termasuk jalur lalu lintas bermarka untuk pesepeda adalah jalur bersama bukan jalur khusus, maka fakta tersebut dapat menampik alasan bahwa jalur pesepeda juga mengurangi badan jalan.
Penyelenggaraan parkir di area Prawirotaman menurut Piliang dalam jurnal ilmiah karya Robi Cahyadi Kurniawan merupakan fenomena ironi sosial, yang berindikasi kecenderungan hilangnya prinsip moral dalam ruang publik, digantikan oleh pemutarbalikan atau permainan moral yang ditandai dengan lenyapnya rasa malu, hilangnya rasa tanggung jawab, dan ironi sosial. Lenyapnya rasa malu dan hilangnya tanggung jawab diindikasikan dengan memarkir di atas jalur sepeda merupakan bentuk peniadaan hak sepeda dalam memakai jalur tersebut. Disini terjadi tawar menawar kepentingan antara pengunjung kafe yang memarkir kendaraan dengan para pengguna jalan. Ironisnya para tukang parkir seolah menawarkan pembenaran moral, menyediakan tempat parkir dan jasa dimana masyarakat tau itu sesuatu yang salah, namun mereka merasa telah menebusnya dengan membayar retribusi parkir.
Publik berpendapat bahwa masih ada jalur alternatif sepeda yang dapat dilalui pengguna sedepa sehingga tidak masalah bila jalur pada jalan parangtritis km 2 digunakan untuk yang lain. Namun faktanya bahwa jalur alternatif sepeda hanyalah jalur yang diperuntungkan untuk memberi kemudahan pada si pengguna sepeda agar sampai ke tempat tujuan dengan lebih cepat bukan sebagai jalur lain yang bisa di lalui untuk kemanapun. Pengguna sepeda tetap membutuhkan jalur untuk mereka. Sebagaimana dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Pasal 62 ayat 1 menjelaskan bahwa pemerintah harus memberikan kemudahan berlalu lintas bagi pesepeda. Selanjutnya dalam ayat 2 disebutkan bahwa pesepeda berhak atas fasilitas pendukung keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran dalam berlalu lintas.
Kesimpulan
Ruang publik ideal menurut Habermas ditentukan oleh relasi kuasa antara negara, pasar, masyarakat dan interkoneksi akan ketiganya. Dalam hal ini pemerintah memang telah membuat undang-undang untuk kepentingan bersama, namun pemerintah juga perlu mempertegas kebijakan yang telah dibuat dengan pengawasan ketat dan pemberian sangsi pada si pelanggar. Dan menertipkan ruang publik borjuis di daerah tersebut yang tidak menyediakan lahan parkir.
Selain pemerintah, para individunya juga dituntut untuk memiliki kesadaran yang tinggi, agar individu bukan hanya bisa saling menghargai hak satu dengan yang lainnya namun juga memiliki rasa malu ketika akan melakukan sesuatu yang tidak seharusnya seperti, memarkir motor di jalur pesepeda. Dan ketika ketiga faktor penting itu dapat saling memberi timbal balik secara positif, bukan tidak mungkin bahwa ruang publik ideal dapat tercipta. Dimana jalur sepeda dapat digunakan dengan semestinya.