Lihat ke Halaman Asli

Saatnya Revolusi

Diperbarui: 5 Januari 2017   00:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena rakyat merasa adanya negara dan pemerintah saat ini sangat merepotkan rakyat, selalu membuat rakyat susah, salah satu rakyat kampung Indonesia berteraik: “Ayo, Belanda, datang lagi ke kampung Indonesia, gabung dengan Inggris, Jepang, Amerika, campur Arab dan Cina, daripada kami harus berperang sesaudara! Ayo, datang ke mari lagi, jangan sungkan! Biar kami tumpahkan kemarahan kami yang telah kami simpan di dada. Ayo, datanglah!”

“Bapak, Bapak, bangun!” Isteri Badrul menggoyang badan suami. Badrul terbangun, tapi karena masih tengah malam, ia pun tertidur lagi. Isterinya memaksakan tidur pula.

“Kami sudah kehilangan segalanya, di kampung Indonesia ini! Kami sudah kehilangan jati diri! Kami sudah tidak tahu lagi apakah kami ini termasuk bangsa Garuda atau hanyalah burung Gereja! Kami sudah tidak mengenali diri apakah kami bangsa yang besar atau kecil. Kami tak paham dan tak sadar apakah kami bangsa yang merdeka atau terjajah. Kami juga tidak paham apakah kami negeri tertua atau atau negeri yang masih usia remaja. Bahkan, kami sudah tidak mampu memilih pimpinan kampung Indonesia sehingga kami tidak peduli pemimpin kami itu lahir dari rahim bangsa apa. Dan, kami hanya mampu berteriak di kamar mandi untuk mencetuskan revolusi ini karena pemerintah kampung Indonesia anti rakyat anti pelayan rakyat. Mending jajah kami lagi, datanglah sekutu, datanglah komunis, kepunglah, ajak Amerika, Arab, Jepang dan seluruh bangsa di dunia! Mending kami berperang melawan kalian daripada kami harus saling menumpahkan darah sesama warga kampung Indonesia. Ayo, datanglah!!!”

“Pak, Bapak, bangun! Sadar!!” sang isteri terganggu lagi dengan racaunya Badrul.

“He eh, iya, Bu, maaf!” isteri Badrul kembali memaksakan diri berusaha tidur. Lagi-lagi lebih dulu Badrul yang melanjutkan orasi revolusinya.

Di depan Badrul berdiri berjubel rakyat kampung Indonesia. Begitu pula di belakang dan samping Badrul, penuh manusia. Badrul dengan mata nanar, otot leher yang menonjol, dan air liur yang deras, kembali melanjutkan orasi revolusinya.

“Dengan kondisi yang genting dan mendesak ini, kami suarakan teruntuk Mahkamah Agung, kami beri waktu tidak lebih dari tiga hari setelah hari ini, segera layangkan surat anulir terhadap undang-undang atau peraturan yang anti rakyat kepada pemimpin kampung Indonesia. SE-GE-RA!!!. Kalau tidak, kami tidak akan bertanggung jawab jika kami tidak bisa mengendalikan diri!”

Semua tertegun menyimak orasi revolusi Badrul. Suaranya yang tanpa alat pengeras terdengar hingga sejauh-jauhnya. Badrul seperti sedang membakar-bakar peluru. Meletup-letupkan girah dan semangat mereka yang mendengarkannya. Mereka yang datang mendengarkan orasinya datang dari bergai penjuru kampung Indonesia. Berbagai agama. Berbagai suku. Berbagai idiologi. Berbagai kalangan. Setelah mendengarkan orasi Badrul, badan mereka panas. Panas yang hebat, laki-laki dan perempuan semua merasakan panas yang hebat. Rasa-rasanya seperti ingin mencabik-cabik bajunya sendiri. Dalam pikiran Badrul, waktu itu sebenarnya waktu yang tepat untuk membakar kampung Indonesia.

Tapi, yang terjadi adalah tidak terjadi apa-apa. Badrul sangat kecewa. Tiga hari waktu yang ditetapkan oleh Badrul di depan rakyat kampung Indonesia kepada Mahkamah Agung, tidak ditepati.  Tidak dilayani. Tidak ada tanda-tanda apa pun, Mahkamah Agung melakukan sesuatu yang berarti. Badrul mengumumkan orasi keduanya yang segera dilancarkannya pada hari ke tujuh minggu pertama bulan mendatang.

Warga kampung Indonesia kembali menyiapkan diri melakukan perjalanan menuju lapangan Banteng , tempat Badrul berorasi yang pertama. Tiba hari yang ditentukan, rakyat kampung Indonesia berduyun-duyun berdatangan memadati lapangan Banteng. Badrul sudah siap sehari sebelumnya di tempat itu. Muncullah Badrul mendekati podium besar. Kali ini dia akan menggunakan pengeras suara agar terdengar ke manca negara. Ia pun membuka orasinya dengan SALAM REVOLUSI.

“Sudara-sudara, waktu yang diberikan kepada mahkamah agung telah terlewat sia-sia. Suara kita tidak didengar. Suara kita diabaikan padahal kita yang memberi pekerjaan kepada mereka. Mereka kita yang memberi makan. Mereka telah berkhianat!”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline