Hampir dua tahun kita hidup dalam suasana pandemi. Situasi mulai mereda, tapi wabah belum sepenuhnya sirna. Ada banyak hal yang bisa kita renungkan dan jadi pelajaran.
Sampai tulisan ini dibuat, di Indonesia tercatat ada 4.254.815 kasus terkonfirmasi Covid-19. Dari jumlah itu, 96,4% atau lebih dari 4,1 juta jiwa dinyatakan sembuh. Saya termasuk salah satu dari statistik penyintas itu.
Penyakit yang disebabkan virus Sars-Cov2 ini memang bisa dibilang aneh. Variasinya demikian tinggi. Pada sebagian orang terpapar, efeknya sangat berat, bahkan tidak sedikit yang berujung pada kematian. Namun, ada juga yang hanya bergejala ringan atau malah tidak bergejala.
Sejak awal diumumkan di Indonesia, respon orang pun beragam. Ada yang khawatir dan ketakutan. Tidak sedikit yang santai dan biasa saja, atau malah menuding hoak. Berbagai teori konspirasi juga kerap dilemparkan.
Saya termasuk orang yang sangat hati-hati dengan ancaman virus ini. Maklum, di rumah ada tiga orang anak-anak yang harus saya pastikan keselamatan dan keamanannya. Saya satu-satunya orang yang masih harus keluar rumah (saat jadwal Work from Office) tentu tak ingin pulang membawa virus.
Protokol kesehatan saya terapkan dengan ketat. Setiap pulang kantor, langsung mandi dan memisahkan baju kotor.
Sempat agak khawatir ketika harus mondar-mandir ke rumah sakit lantaran ibu saya terpapar lebih dulu virus ini di awal tahun 2021. Alhamdulillah saat itu masih aman. Ibu saya juga sudah sehat, meski saat itu cukup lama mengalami efek long covid.
Begitu ada kesempatan untuk vaksinasi gelombang kedua untuk pekerja di sektor publik, saya segera ambil bagian. Dua dosis Sinovac saya terima lengkap. Ikhtiar sudah digenapkan.
Tapi, qadarullah saya akhirnya harus merasakan juga dihinggapi virus ini sekitar akhir Juni kemarin. Tidak tanggung-tanggung, kami jadi klaster keluarga (di rumah mertua dan rumah saya).
Bapak mertua yang pertama kali dikonfirmasi Covid-19. Menyusul hasil tersebut, saya, istri dan anak-anak langsung tes antigen. Hasilnya masih negatif.