Ada yang baru di ruas jalan Sudirman dan sedang jadi perbincangan. Ya, apalagi kalau bukan Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) tak beratap. Seperti biasa, pro dan kontra selalu menyertai. Sebetulnya JPO harus ada atapnya nggak sih?
Jawaban untuk pertanyaan itu sebetulnya bisa kita lihat dari keterangan foto (caption) pos Instagram @aniesbaswedan, berikut saya kutipkan:
"Jika JPO ini menghubungkan areal indoor dengan indoor, misalnya antara dua bangunan gedung, maka penutup/atap memang menjadi keharusan. Tapi JPO menghubungkan antara dua areal yang sama-sama outdoor dengan outdoor, maka memang JPO ini adalah bagian dari outdoor/ruang terbuka."
Dengan prinsip tersebut, ada kemungkinan JPO lain pun akan mendapat perlakuan serupa yaitu dihilangkan atapnya. Pengecualian berlaku bagi JPO yang terhubung dengan halte Transjakarta, karena halte bus merupakan area indoor.
Masih dari postingan yang sama, Anies juga mengungkapkan pertimbangannya.
"Keunikan koridor Sudirman adalah adanya jejeran gedung pencakar langit. Tapi selama ini, justru unsur pemandangan gedung tinggi tidak ditonjolkan sebagai unsur pengalaman saat berjalan kaki di koridor Jalan Sudirman ini. JPO itu kini berfungsi ganda sebagai anjungan melihat lansekap megahnya koridor Sudirman."
Polemik tentu terjadi. Protes bahkan datang dari Koalisi Pejalan Kaki, yang mengatakan ini adalah siksaan baru bagi pejalan kaki. Menurut mereka, 'pengorbanannya' tidak sebanding kalau hanya sekadar memberi kesempatan orang untuk berswafoto di atas JPO.
Saya melihatnya berbeda. Ini memang sebuah ujicoba yang berani. Kebijakan ini merupakan langkah mewujudkan "Wajah Baru Jakarta", bukan hanya dari aspek fisik tetapi juga perilaku warga kota. Tidak mudah mengubah perilaku, karena perilaku terbentuk dari kebiasaan yang berpola. Individu yang mau berubah meninggalkan kebiasaan saja tidak mudah. Apalagi kalau kita mau mengubah perilaku masyarakat.
Tapi, infrastruktur bisa dijadikan instrumen untuk mengubah perilaku. Salah satu contoh yang saya bisa berikan adalah pemasangan pagar di koridor jalur pedestrian di sejumlah stasiun kereta. Dulu sebelum dipagari, orang bebas menyeberang dari sisi manapun (tidak di zebra cross).
Sekarang tidak bisa lagi. Orang dipaksa untuk berjalan sampai ke areal penyeberangan yang sudah ditentukan. Memang masih ada saja yang lompat pagar, tetapi pasti jumlahnya tidak semasif seperti saat belum ada pagar. Kemacetan di lokasi tersebut pun berkurang signifikan.
Terkait dengan JPO tanpa atap, saya teringat dengan fun theory yang diterapkan di sebuah stasiun bawah tanah di Odenplan, Stockholm, Swedia. Sebuah simulasi coba dilakukan atas inisiatif Volskwagen, untuk melihat sejauhmana perilaku warga bisa diubah lewat cara yang menyenangkan (fun).