Mulai tahun ini, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mewajibkan para Ketua RT dan RW mengirimkan laporan melalui mobile aplikasi Qlue sebanyak tiga kali dalam sehari. Laporan tersebut akan dikaitkan dengan uang operasional yang mereka terima. Kebijakan ini mendatangkan resistensi dari sejumlah ketua RT dan RW. Perang wacana di media sedang terjadi.
Supaya tidak terjebak pada pro dan kontra yang tidak berdasar, mari kita kupas permasalahan tersebut sampai ke pangkalnya. Kebetulan saat ini saya sedang menyusun tesis yang topiknya tentang Qlue. Jadi sebagian informasi yang saya punya akan saya bagikan di sini.
Melalui Keputusan Gubernur Nomor 903 Tahun 2016, Pemprov DKI Jakarta mengatur mekanisme pemberian uang operasional kepada RT/RW. Disebutkan bahwa RT dan RW harus mengirimkan laporan melalui Qlue tiga kali sehari.
Satu laporan dihargai Rp. 10.000 (untuk RT) dan Rp. 12.500 (untuk RW), ditambah dengan biaya komunikasi setiap bulan Rp.75.000. Sehingga apabila dalam 30 hari rutin mengirimkan tiga laporan, RT akan menerima Rp.975.000 dan RW 1.200.000.
Di batang tubuh Kepgub tersebut tidak tercantum penggunaan aplikasi Qlue, justru yang tertulis adalah aplikasi Jakarta Smart City. Baru pada lampiran yang memuat Petunjuk Pelaksanaan (Juklak) didefinisikan bahwa “Aplikasi Jakarta Smart City adalah aplikasi yang dimiliki oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan informasi kondisi Jakarta melalui mitra aplikasi yang bekerjasama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta antara lain qlue.”
Definisi di atas justru semakin membingungkan, sebetulnya yang dipakai itu Jakarta Smart City atau Qlue? Karena di Google Play Store, keduanya bisa kita dapati. Saya pun sudah mengunduh keduanya, dan ternyata aplikasi Jakarta Smart City tidak bisa digunakan untuk mengirimkan laporan warga. Isi dari aplikasi Jakarta Smart City adalah berita-berita dari situs beritajakarta.com, Swakita, Jakarta, Qraved, Ragunan Zoo.
So, seharusnya secara tegas dinyatakan bahwa RT/RW menggunakan aplikasi Qlue untuk mengirimkan laporan. Sebuah produk hukum tidak boleh menimbulkan kerancuan dalam penafsiran, apalagi kalau jelas-jelas keliru definisinya.
Ada juga keanehan lain yaitu fakta bahwa RT/RW diwajibkan menggunakan Qlue dengan Keputusan Gubernur sebagai dasar hukum, sementara bagi aparat (lurah/camat dan SKPD teknis) yang dituntut memonitor dan menindaklanjuti laporan hanya berdasarkan Instruksi Gubernur. Dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 80 Tahun 2015 tentang pembentukan Produk Hukum Daerah, Instruksi Gubernur tidak termasuk sebagai produk hukum daerah.
Oke, sebelum melebar tambah jauh, kita balik lagi ke soal RT/RW. Niat gubernur Ahok sebetulnya baik. Ia ingin membangun sebuah mekanisme pertanggungjawaban penggunaan uang rakyat.
Tidak sedikit lho APBD yang dikeluarkan untuk operasional RT/RW ini. Agak sulit mengetahui jumlah pastinya, karena anggaran ini tidak terpusat di tingkat provinsi melainkan tersebar di anggaran 267 kelurahan. Tapi, estimasi kasar saya nilainya lebih dari Rp 350 miliar dalam setahun.
Masalah peliknya adalah pada salah kaprah yang dibiarkan terjadi selama ini. Tidak sedikit yang menganggap uang operasional RT/RW ini semacam gaji. Padahal, seharusnya uang tersebut digunakan untuk operasional kepengurusan RT/RW setempat, termasuk menjadi stimulus bagi kegiatan pemberdayaan masyarakat.