Modal tampang kece terbukti tidak cukup untuk jadi pemimpin daerah yang baik. Lihat saja kasus Sigit Purnomo Said alias Pasha (vokalis band Ungu). Baru bilangan hari menjadi Wakil Walikota Palu, tabiat buruknya mulai terkuak. Semoga saja tidak disusul dengan menunjukkan inkompetensi dan nirkapabilitas.
[caption caption="Pasha merokok di acara resmi menggunakan Pakaian Dinas Upacara, sumber foto: akun Instagram @adeliapasha"][/caption]Pada pilkada serentak Desember 2015 lalu, Pasha maju mendampingi Hidayat di Kota Palu. Berdasarkan data resmi KPU, pasangan yang diusung oleh PAN dan PKB itu memeroleh 54.895 suara. Di urutan kedua, Hadianto Rasyid-Wiwik Jumatul Rofi'ah (Hanura-PKS) dipilih oleh 40.483 pemilih. Selanjutnya berurutan, Habsa Yanti Ponulele-Tamrin H Samauna (NasDem, PDI-P, Demokrat) dengan 29.779 suara dan posisi paling buntut, Mulhanan Tombolotutu-Tahmidy Lasahido (Golkar-Gerindra) 24.082 suara.
Melihat data tersebut, Hidayat-Pasha tidak bisa dibilang menang mutlak. Selisih suara dengan peringkat kedua memang cukup jauh (sekitar 14 ribu pemilih). Jumlah pemilih yang menggunakan haknya adalah 151.956 jiwa. Angka ini jauh dari pemilik suara seluruhnya yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap (DPT) yaitu 248.278 jiwa. Jika kita bagi dengan pemilih yang menggunakan suaranya saja, duet Hidayat-Pasha cuma dipilih oleh sekitar 36,16 %. Malah kalau pembaginya adalah jumlah warga dalam DPT, hanya 22,11% yang memilih pasangan ini. Rendahnya persentase ini bisa dimaknai linier dengan legitimasi mereka.
Alih-alih mengambil hati publik Kota Palu, Pasha malah berulah. Hanya sehari setelah dilantik, tepatnya pada 18 Februari 2016 kemarin Pasha bertingkah angkuh. Pria kelahiran Donggala 36 tahun lalu itu marah-marah saat memipin apel. "Apa motif saudara-saudara tertawa terbahak-bahak? Saya malu karena ada yang tertawa terbahak-bahak saat saya masuk. Next (selanjutnya), saya tidak mau ini terulang lagi. Polisi Pamong Praja harus mengecek yang tertawa itu. Jelas? Jelas? Jelas?" kata Pasha dengan nada tinggi seperti dimuat Tribunnews.
Masih dari sumber yang sama dikatakan padahal sebetulnya para pegawai tidak bermaksud menertawai Pasha."Banyak sekali pegawai di sini yang baru pertama kali melihat wajahnya secara langsung, sehingga spontan menyambut dengan tawa karena gembira saat beliau pertama kali naik podium," kata seorang pegawai kepada jurnalis Tribunnews.
Belum habis cerita soal itu, Pasha kembali membuat kehebohan. Semua berawal saat sebuah akun bernama @adeliapashaofficial mengunggah foto Pasha yang sedang memegang rokok saat menghadiri sebuah acara resmi di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Pose merokok saat menggunakan Pakaian Dinas Upacara (PDU) di sebuah acara resmi rasanya memang tidak patut. Sontak saja aksi ini memancing rekasi dari netizen. Sayangnya saya tidak tahu bagaimana respons warga Kota Palu sendiri.
Entah apa lagi yang akan dilakukan Pasha setelah ini. Kekhawatiran terbesar saya adalah ketidakmampuannya melaksanakan tugas sehari-hari sebagai pimpinan daerah (meski hanya wakil walikota). Jangan kira menjadi seorang kepala daerah itu mudah. Menjamin pelayanan publik berjalan sebagaimana mestinya saja sudah jadi satu tantangan tersendiri. Belum lagi bagaimana membangun daerah sekaligus menjaga kelestarian ekologis serta memelihara kerukunan dan memupuk modal sosial.
Seandainya Pasha (dan tentu bersama Hidayat sang walikota) gagal menjalankan perannya, jangan lekas-lekas menyalahkan mereka. Toh mereka adalah peraih suara tertinggi di pilkada. Suruh siapa pemimpin model begini dipilih? Fenomena artis yang terjun ke ranah politik bukanlah hal baru. Pada pilkada Desember 2015 lalu, selain Pasha ada juga Zumi Zola yang terpilih sebagai Gubernur Jambi. Peneliti dari Lingkaran Survei Indonesia, Ardiah Sopa mengatakan ada dua faktor yang menentukan artis-artis itu. "Pertama popularitas tinggi. Kedua, punya pemilih loyal, terutama pemilih perempuan," ujar Ardiah di Jakarta, Kamis (10/12/2015) kepada liputan6.com.
Jauh sebelum mereka sudah ada Dedy Mizwar (Wakil Gubernur Jawa Barat) dan Rano Karno (Wakil Gubernur Banten yang kemudian 'naik pangkat' menggantikan Ratu Atut yang jadi pesakitan KPK). Kita tentu tidak bisa menggeneralisir semua dari mereka tidak kompeten. Beberapa di antaranya mungkin cukup mumpuni, namun ada juga yang tidak memuaskan. Selain di kontestasi pilkada, banyak juga artis yang menjajal peruntungan di pemilihan legislatif. Mengenai fenomena ini, saya pernah membuat artikel tersendiri di sini. Intinya, para artis seperti halnya warganegara lain memiliki hak konstitusional untuk memilih dan dipilih.
Kalau ada yang harus disalahkan, saya justru menunjuk partai politik. Mereka sengaja menggaet artis, baik untuk pemilu legislatif maupun pilkada, karena gagal melakukan fungsi rekrutmen dan kaderisasi. Padahal, jalan pintas ini mulai menunjukkan tanda-tanda yang kian mengkhawatirkan. Kembali ke data hasil pilkada Kota Palu sebagaimana saya sajikan pada diagram di bawah ini, keberadaan Pasha Ungu ternyata tidak berkorelasi positif terhadap tingginya tingkat partisipasi pemilih. Bahkan jumlah warga yang masuk dalam DPT tapi tidak menggunakan hak suaranya jauh lebih banyak dari pemilih Hidayat-Pasha.
[caption caption="Pemilih Hidayat - Pasha jauh lebih kecil dibanding golput. sumber data : KPU, diolah penulis"]
[/caption]Kondisi seperti ini tidak bisa terus dibiarkan. Pemilihan dengan tingkat partisipasi rendah jelas tidak baik bagi demokrasi. Ada dua hal mendesak yang harus dilakukan. Pertama, partai politik harus melakukan rekrutmen dan kaderisasi yang sistematis. Kedua, penyadaran bagi warga untuk semakin cerdas dalam berpolitik.