Lihat ke Halaman Asli

Shendy Adam

TERVERIFIKASI

ASN Pemprov DKI Jakarta

Ahok Tak Paham Soal Ruang Publik?

Diperbarui: 19 Februari 2016   14:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sejak tahun lalu, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sedang getol membangun Ruang Publik Terpadu Ramah Anak (RPTRA). Sayangnya, gubernur Basuki Tjahaja Purnama justru tidak menunjukkan pemahamannya akan esensi dari sebuah ruang publik.

[caption caption="Gubernu Basuki Tjahaja Purnama meresmikan RPTRA Cengkareng Timur, Kamis (18/02/2016). sumber foto : akun twitter @promosi_BPMPKB"][/caption]

Sepanjang tahun lalu ada 63 PTRA dibangun dan diresmikan. Sedangkan target keseluruhan hingga akhir tahun ini adalah 213 RPTRA. Jakarta memang kritis ruang terbuka hijau (RTH). Itu fakta yang tidak bisa kita bantah. Pada tahun 1965 RTH di Ibu Kota Indonesia ini masih berada di angka 37,2 persen. Namun, pada tahun 1985, RTH Jakarta berkurang menjadi 25,85 persen, hingga pada tahun 2000 lalu terus menyusut menjadi tinggal 9 persen. Data terbaru menyebutkan, tahun lalu persentase RTH di Jakarta mengalami sedikit kenaikan menjadi 9,98 persen. Sehingga, persentase RTH yang masih harus dikejar untuk mencapai jumlah ideal mencapai sekitar 20,02 persen.

Bagi saya pribadi, 30 % --yang artinya nyaris sepertiga Jakarta menjadi RTH—kurang realistis. Namun, sebesar mungkin yang bisa dicapai maka semakin baik. Tidak heran kalau Pak Ahok sudah lama menugaskan Dinas Pertamanan dan Pemakaman untuk membebaskan lahan sebanyak mungkin. Camat dan lurah juga pernah diminta bantuannya untuk menginventarisasi lahan kosong yang kemungkinan mau dilepas oleh pemiliknya. Nyatanya tugas itu tidak mudah.

Selain pembebasan lahan, Pemprov DKI Jakarta juga gencar menertibkan jalur hijau yang selama ini peruntukannya tidak tepat. Salah satu yang sedang ramai adalah di Kalijodo, sebuah kawasan di bantaran Banjir Kanal Barat yang terkenal sebagai area prostitusi. Wilayah perbatasan Jakarta Barat dan Jakarta Utara ini akan ditertibkan, bukan karena prostitusinya melainkan karena pelanggaran peruntukan jalur hijau.

Rencana ini jelas saja bikin heboh. Sebagian warga menunjukkan perlawanan, sementara sebagian yang lain sepertinya hanya bisa pasrah. Bagi masyarakat kelas bawah, melawan Pemerintah adalah sebuah mimpi buruk. Bagaimanapun juga, mereka pasti kalah. Beda dengan para pengusaha yang kerap ‘berselingkuh’ dengan penguasa. Lihat saja Seasons City dan Taman Anggrek yang juga berdiri di jalur hijau, seperti halnya Kalijodo, aman-aman saja dari ancaman pembongkaran.

[caption caption="Data pelanggaran fungsi lahan. Semoga Ahok tidak gunakan standar ganda."]

[/caption]

Satu hal yang menarik buat saya adalah pernyataan Ahok yang enggan melakukan dialog. Sikap yang sangat tidak patut dipertontonkan oleh seorang pejabat publik yang dipilih langsung oleh rakyat. Pernyataan Ahok itu sekaligus bertentangan dengan semangat menyediakan ruang publik bagi warga Jakarta. Dalam sejarah peradaban Barat, tempat-tempat seperti Agora di Yunani Kuno, town hall (balai kota) di New England, taman kota, bahkan sudut-sudut jalan telah menjadi arena untuk melakukan debat-debat terbuka tentang masalah-masalah sosial kemasyarakatan.

Seiring perjalanan waktu, ruang publik secara fisik seperti itu memang semakin langka. Kemudian berkembanglah konsep tentang ruang publik (public sphere) yang tidak melekat pada konsep spasial maupun temporal, melainkan lebih pada kemungkinan debat publik atau dialog oleh orang banyak (Habermas, 1989). Media massa –terkait dengan perannya dalam mengarahkan opini publik—sebetulnya diharapkan dalam pembentukan ruang publik seperti ini. Akan tetapi, ruang publik ideal seperti itu tidak pernah benar-benar terwujud. Proses komersialisasi media massa dan perluasan intervensi negara telah membawa kita pada apa yang disebut Habermas sebagai “refeodalisasi” ruang publik.

Pernyataan Ahok yang menolak dialog, sama saja dengan menutup ruang publik (public sphere). Sangat disayangkan di tengah gencarnya pembangunan ruang publik secara fisik (RPTRA), Ahok justru enggan membuka ruang dialog dengan warga yang sebetulnya sangat berarti dalam mencapai sebuah deliberasi. Saya melihatnya sebagai sebuah kesia-siaan. Kota tanpa warga apalah artinya. Jadi, pembangunan sebuah kota hendaknya tidak melulu berorientasi pada fisik tetapi bagaimana membangun manusianya. Sangat mengerikan ketika seorang pemimpin menolak mentah-mentah keinginan warganya untuk berdialog.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline