Lihat ke Halaman Asli

Shendy Adam

TERVERIFIKASI

ASN Pemprov DKI Jakarta

Ketika Sepak Bola Tak Lagi Menyatukan Kita

Diperbarui: 25 Juni 2015   23:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Dalam salah satu artikel menjelang Premier League bergulir musim ini, Darojatun, jurnalis BOLA menulis, sepak bola sebagai perekat sosial masyarakat Inggris. Bung Jatun berasumsi bahwa jika kerusuhan London pecah di saat liga sudah berlangsung, mungkin dampaknya tidak akan sebesar seperti yang terjadi. Sepak bola menjadi wadah di mana berbagai komunitas menemukan identitas kolektif.

Apakah di Indonesia juga demikian? Saat ini sepertinya tidak. Sepak bola justru menjadi wahana pertarungan kepentingan. Rasa benci, dendam dan permusuhan meliputi satu kubu terhadap kubu lain. Saya tidak sedang berbicara sepak bola dalam konteks permainan di lapangan hijau, melainkan organisasi yang menaungi olahraga ini di Indonesia: PSSI.

Dualisme kompetisi yang musim lalu terjadi nyaris membuat PSSI kena sanksi FIFA, kini terjadi lagi. LPI pada musim lalu secara tegas dapat dikatakan sebagai breakaway league, lantaran diikuti oleh klub-klub non anggota PSSI. Kompetisi itu sendiri diselenggarakan oleh orang-orang di luar sistem PSSI.

Tapi saat ini, ISL dan IPL tidak bisa dibilang breakaway league. Keduanya diikuti oleh klub anggota PSSI. Yang lebih repot, Komite Eksekutif pun terbelah. Sebagian keukeuh mendukung IPL, yang lainnya membelot ke ISL. Jangankan masyarakat, klub-klub sendiri dibuat bingung harus ikut yang mana.

Jika kita saksikan dialog atau debat yang kerap ditayangkan dalam acara televisi, terlihat masing-masing pihak merasa paling benar. Sama sekali tak nampak good will untuk menyelesaikan masalah. Sampai kapanpun permasalahan ini tidak akan kelar jika ego masing-masing kubu tidak bisa dikendalikan.

Yang menyedihkan, pertikaian di kalangan elite sepak bola nasional telah menular hingga ke akar rumput. Mau bukti? Silakan lihat perdebatan yang terjadi di forum-forum diskusi dunia maya. Silang pendapat yang ada tak jarang diwarnai saling cela, saling hujat, umpatan, makian. Pengalaman demikian juga penulis rasakan sendiri, ketika ada pendukung dari kelompok tertentu yang merasa tersinggung dengan opini saya.

Sikap masyarakat dalam kisruh PSSI ikut-ikutan terbelah. Kelompok pertama adalah yang mendukung dan sepenuhnya percaya pada Djohar Arifin sebagai pemegang kedaulatan sah PSSI. Kelompok kedua, masyarakat yang menginginkan perubahan, tapi gerah melihat sepak terjang Djohar yang serampangan. Kelompok ketiga, sebagian kecil orang-orang pro status quo yang merasa PSSI rezim Nurdin Halid masih lebih baik.

Adu argumen, data dan fakta juga sering digelontorkan dalam silang sengkarut tak berujung. Bukan tidak mungkin jika mereka dipertemukan yang terjadi adalah adu jotos. Alih-alih menjadi perekat, sepak bola justru membuka ruang permusuhan sesama anak bangsa.

Rekonsiliasi Harga Mati

Ada satu fase yang terlewati begitu saja dalam rangkaian reformasi PSSI belum lama ini. Pasca terpilihnya Djohar Arifin, Farid Rahman dan sembilan anggota Komite Eksekutif, kita langsung terlena dalam euforia. Seolah-olah semua permasalahan akan beres hanya dengan terbentuknya kepengurusan baru menggantikan rezim lama. Padahal, yang jauh lebih penting untuk dilakukan saat itu adalah rekonsiliasi.

Seperti kita tahu, ada satu kubu –entah namanya K-78, Jenggala atau jika menunjuk personal maka bisa diarahkan pada Arifin Panigoro (AP)—yang sangat dirugikan dan dicurangi oleh pengurus PSSI periode sebelumnya. Puncaknya adalah ketika PSSI melalui ‘tangan’ FIFA menjegal langkah AP yang ingin menggantikan Nurdin.

Dendam kesumat itu akhirnya bisa dilampiaskan tatkala Djohar dan Farid –duet yang disiapkan sebagai kandidat alternatif—sukses menduduki kursi PSSI 1 dan 2. Orang-orang yang dianggap dekat dengan rezim lama dengan segera disingkirkan. Kebijakan sapu bersih ini dilakukan baik di manajemen tim nasional, kesekretariatan PSSI hingga ke administratur kompetisi.

Langkah ini tentu menimbulkan barisan sakit hati, yang tidak serta-merta menerima begitu saja keputusan sang Ketua Umum.Perlawanan terus dilakukan oleh pihak yang merasa tidak aman dengan kehadiran Djohar dan gerbong LPI.

Motif dari kubu yang melawan ini tidak homogen. Ada yang merasa mata pencahariannya selama ini akan terancam. Ada pula kelompok yang memang memiliki kompetensi di bidangnya merasa sangsi melihat bagaimana cara orang-orang baru bekerja. Mereka pun akhirnya turun gunung.

Inilah sesungguhnya ujian terbesar Djohar sebagai nakhoda PSSI. Tak usah dulu bicara prestasi timnas atau penyelenggaraan kompetisi. Tantangan pertama yang harus dilewati adalah bagaimana agar riak kecil ini tidak menjadi gelombang yang akan menghantam kapalnya.Semua harus bergerak seirama, memajukan sepak bola nasional.

Dendam masa lalu harus dibuang jauh-jauh oleh kubu pembaharu. Selain itu, pengurus lama yang memang berkompeten dan berkomitmen untuk bekerja bagi kemajuan sepak bola harus dirangkul. Rekonsiliasi di antara kubu yang berseteru adalah harga mati. Tanpa itu, PSSI hanya akan terjebak pada lingkaran setan: perebutan kekuasaan melalui KLB. Lebih dari itu, sepak bola gagal mengambil peran sebagai medium kohesi sosial.

Berlangsungnya Sea Games merupakan berkah tersendiri karena untuk sejenak kita melupakan pertikaian yang ada. Untuk sementara, sepak bola kembali menyatukan kita. Semoga ini bisa berlanjut di kemudian hari.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline