Lihat ke Halaman Asli

Shendy Adam

TERVERIFIKASI

ASN Pemprov DKI Jakarta

Pak Jokowi, Pilih Sekda Saja Sulit Apalagi Susun Kabinet

Diperbarui: 23 Juni 2015   23:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13983288911607396378

Terus terang saya terpikat dengan gagasan koalisi yang diapungkan calon presiden dari PDIP, Joko Widodo. Dalam banyak kesempatan, ia selalu mengatakan koalisi yang dibangun tidak melulu soal bagi-bagi kekuasaan. Capres yang kerap disebut ‘kerempeng’ oleh Megawati ini juga berjanji akan menyusun kabinet kerja, bukan kabinet politik.

Apa yang ditawarkan Jokowi sejatinya bukanlah sesuatu yang istimewa karena memang begitulah seharusnya (das sollen). Namun, dalam praktek selama ini (das sein) zaken kabinet tak pernah terjadi. Jadilah pemerintahan kita berkelamin ganda lantaran sistem presidensial yang dianut justru mencerminkan karakteristik parlementarian.

Sejatinya, tak ada istilah koalisi dan oposisi dalam pemerintahan presidensial. Koalisi menjadi lazim dalam politik nasional sebagai konsekuensi dari sistem multipartai. Dengan banyaknya partai yang berkompetisi, sulit untuk memperoleh suara mayoritas mutlak. Jika tidak membangun ‘kemitraan’ dengan partai lain di parlemen, niscaya presiden terpilih akan melulu dirongrong sepanjang masa jabatannya.

Selain itu, pascareformasi terdapat kecenderungan legislative heavy, di mana DPR menjadi lebih powerfull. Setelah eksekutif amat dominan selama 32 tahun, boleh jadi para wakil rakyat kebablasan dalam mengemban amanah. Hasilnya, check and balances menjadi tidak seimbang. Tidak bisa disalahkan manakala presiden terpilih berusaha membangun koalisi dengan sebanyak-banyaknya partai.

Bisa dibayangkan betapa beratnya perjalanan SBY mengarungi periode 2004-2009 andai tidak membangun koalisi dengan partai lain. Mengapa? Partai Demokrat cuma meraih suara sebanyak 7,45% atau 57 kursi di DPR. Bahkan ketika perolehan suaranya melonjak di pemilu 2009, SBY tetap melanjutkan koalisi Kabinet Indonesia Bersatu.

Hal lain yang menjadikan koalisi penting adalah pemenuhan presidential threshold atau ambang batas pengajuan calon presiden. Dengan aturan minimal 25 % suara sah nasional, maka tak ada satupun partai di pemilu 2014 ini yang bisa mengajukan calon presiden sendiri. PDIP, Golkar dan Gerindra masing-masing harus mencari gandengan agar memuluskan langkah Jokowi, ARB dan Prabowo.

Dalam berbagai survei, elektabilitas Jokowi selalu disebut yang tertinggi. Dengan menggunakan logika ‘ada gula ada semut’, seharusnya Jokowi sudah dirubung oleh partai lain. Partai mana sih yang tidak mau ikut berkuasa? Tapi kenapa kok sejauh ini cuma Nasdem yang menyatakan bergabung. PKB yang corak oportunis para pemimpinnya amat kental pun seperti masih berhitung.

[caption id="attachment_321223" align="aligncenter" width="576" caption="Siapa mau ikut?"][/caption]

Well, walaupun kans Jokowi untuk menang memang besar, tapi bagi partai lain tawaran koalisi PDIP tidak menggiurkan. Apa untungnya mendukung Jokowi jika tak ada jaminan kursi di kabinet, mungkin begitu yang ada di benak para ketua umum partai. Lagi-lagi seperti Harold Lasswell pernah katakan, politik adalah soal siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana.

Sudah cukup memuji Jokowi dan PDIP, nanti terlena. Selanjutnya mari kita lihat seberapa mungkin penerapan janji ini. Jangan-jangan ini cuma bagian dari strategi memikat pemilih saja. Jokowi harus menjelaskan seperti apa rencananya dalam menyusun kabinet kelak andai terpilih. Bagi saya ini penting, karena fakta di Jakarta saat ini bertolakbelakang dengan pernyataan Jokowi. Sudah 1 tahun 16 hari posisi Sekretaris Daerah Provinsi DKI Jakarta kosong.

Tanggal 8 April 2013 lalu, Sekda DKI Fadjar Panjaitan memutuskan pensiun lebih awal dari jadwal seharusnya September 2013. Sejak itu, Wiriyatmoko yang jabatan aslinya adalah Asisten Sekda Bidang Pembangunan ditunjuk sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Sekda. Proses seleksi pun konon sudah dilakukan dengan mengikutsertakan pejabat-pejabat  terpilih.

Walaupun tak pernah mengerucut pada satu nama, setidaknya sudah beberapa kali kandidat kuat calon sekda bocor ke publik. Terakhir, Heru Budi Hartono (Walikota Jakarta Utara) yang santer disebut akan menduduki kursi DKI-3. Padahal, dalam berita-berita terdahulu tak pernah ada nama Heru. Dan ternyata hingga hari ini pelantikan posisi puncak birokrasi di Jakarta itu kunjung dilakukan.

Tak cukup sampai di situ, Jokowi bahkan menyatakan Jakarta tak butuh Sekda, karena selama ini pemerintahan tetap berjalan dengan adanya Plt. Sekda. Ya kalau begitu, Jakarta juga mungkin tak butuh gubernur definitif asalkan ada Plt. Gubernur?

Apa begitu sulit menentukan Sekda Jakarta? Katakanlah pejabat-pejabat Pemprov DKI tidak ada yang layak dan kompeten, toh masih dimungkinkan untuk merekrut PNS dari lingkungan pemerintah daerah lain atau kementerian selama memenuhi syarat.


Semoga saja andai kelak mayoritas rakyat Indonesia memilih pria 52 tahun itu menjadi pemimpinnya, beliau bisa menyusun kabinet kerja sebagaimana ia janjikan. Sebuah kabinet yang diisi orang-orang profesional di bidangnya, dan bukan hasil ‘dagang sapi’ dengan partai politik lain.


Menentukan the right man on the right place tidak mudah. Bisa saya pastikan menyusun kabinet yang jumlahnya mencapai puluhan orang akan lebih sulit ketimbang menunjuk seorang Sekda. Selain itu, kabinet juga tidak sepatutnya dibongkarpasang setiap berapa bulan seperti apa yang terjadi di lingkungan Provinsi DKI Jakarta saat ini.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline