Lihat ke Halaman Asli

Shendy Adam

TERVERIFIKASI

ASN Pemprov DKI Jakarta

Quo Vadis Jakarta Baru?

Diperbarui: 18 Juni 2015   05:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, berkunjung ke Redaksi Harian Kompas untuk bersilaturahim sekaligus menyampaikan sosialisasi program kerja Kantor Harian Kompas di Palmerah, Jakarta, Jumat (10/5/2013). Basuki diterima langsung oleh Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama, yang didampingi CEO Kompas Gramedia, Agung Adiprasetyo, Pemimpin Redaksi Kompas, Rikard Bagun, dan jajaran pimpinan Kompas lainnya. (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)

[caption id="" align="aligncenter" width="624" caption="Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama, berkunjung ke Redaksi Harian Kompas untuk bersilaturahim sekaligus menyampaikan sosialisasi program kerja Kantor Harian Kompas di Palmerah, Jakarta, Jumat (10/5/2013). Basuki diterima langsung oleh Pemimpin Umum Harian Kompas, Jakob Oetama, yang didampingi CEO Kompas Gramedia, Agung Adiprasetyo, Pemimpin Redaksi Kompas, Rikard Bagun, dan jajaran pimpinan Kompas lainnya. (KOMPAS/IWAN SETIYAWAN)"][/caption]

Komisi Pemilihan Umum sudah menetapkan Joko Widodo sebagai presiden terpilih Republik Indonesia periode 2014 - 2019. Pria asal Solo itu pun harus mundur dari jabatannya saat ini, Gubernur Provinsi DKI Jakarta. Bagaimana nasib Jakarta Baru, sebuah janji politik pasangan Jokowi-Basuki Tjahaja Purnama saat pemilihan kepala daerah 2012 lalu?

"Kota modern yang tertata rapi, menjadi tempat hunian yang layak dan manusiawi, memiliki masyarakat yang berkebudayaan, dan dengan pemerintahan yang berorientasi pada pelayanan publik." Demikian Visi Jakarta Baru, sebagaimana termaktub dalam RPJMD DKI Jakarta 2013-2017. Sungguh sebuah kondisi ideal yang siapapun pasti mendambakannya. Dengan terpilihnya Jokowi menjadi Presiden RI, maka Basuki dipastikan akan 'naik pangkat' sebagai gubernur. Selanjutnya DPRD Provinsi DKI Jakarta tinggal memilih siapa pendamping Ahok. Duet baru ini diharapkan bisa menyelesaikan pekerjaan yang sudah dimulai sejak hampir dua tahun lalu. Melihat kondisi saat ini, sepertinya tugas tersebut sungguh berat untuk dilaksanakan kalau tak ingin disebut mustahil. Penulis sama sekali tak bermaksud meragukan apalagi mengecilkan kapasitas Pak Ahok dan siapapun wakilnya kelak. Sejatinya, persoalan ibukota yang demikian kompleks tidaklah bisa diselesaikan sendiri oleh Provinsi DKI Jakarta. Seiring derasnya pembangunan Indonesia pascakemerdekaan, Jakarta terus berkembang menjadi sebuah aglomerasi dengan daerah-daerah sekitar terutama Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan Cianjur. Masalah banjir yang rutin mendera Jakarta bisa kita jadikan contoh. Sehebat apapun upaya Pemprov DKI melakukan antisipasi, banjir tetap akan datang. Bahkan, saat Jakarta tidak hujan sekalipun, kota ini bisa saja terendam sebagai akibat aliran 13 sungai menuju laut. Hulu dari 13 sungai tersebut seluruhnya ada di kota/kabupaten di luar Jakarta (Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten). Pemprov DKI Jakarta jelas tidak punya kewenangan untuk melakukan tindakan apapun di luar wilayah administrasinya. Masih banyak persoalan lain yang menjadi pelik lantaran kewenangannya tidak dimiliki Pemprov DKI Jakarta. Hubungan Pemprov dengan Pemerintah (pusat) selama ini juga terasa kurang harmonis. Momentum terpilihnya Jokowi sebagai presiden seharusnya bisa mengubah situasi ini. Indonesia memang bukan cuma Jakarta. Bapak Presiden harus membagi perhatian secara adil untuk ke-34 provinsi di Tanah Air. Akan tetapi, problematika ibukota juga memerlukan campur tangan Pemerintah. Dalam sebuah acara beberapa hari lalu, Ahok melontarkan ide yang bisa dipertimbangkan. Ia mengusulkan agar jabatan Gubernur Jakarta menjadi bagian dari kabinet presiden. Konsekuensinya, gubernur ibukota tidak lagi dipilih oleh rakyat melainkan ditunjuk langsung oleh kepala negara. Dengan posisinya sebagai anggota kabinet, ruang gerak dan kewenangan Gubernur Jakarta perlu disesuaikan sehingga bisa menangani berbagai masalah. Akan tetapi, tawaran itu belum cukup menjadi solusi andai wilayah ibukota tetap terbatas pada lokasi eksisting saat ini. Pemerintah perlu menetapkan perluasan daerah ibukota. Kawasan Jabodetabekjur idealnya berada dalam satu administrasi pemerintahan. Gagasan ini bukanlah hal baru, tetapi sulit direalisasikan karena pasti akan mendapat resistensi kuat terutama dari Pemprov Jawa Barat dan Pemprov Banten. Andaikan Presiden Jokowi berani, alternatif ini harus mulai digagas. Dalam angan-angan penulis, Jakarta Baru bukanlah sekadar tataran kehidupan baru di wilayah administrasi Jakarta saat ini tapi juga mencakup daerah sekitar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline