Dengan perkiraan 3,22 juta ton sampah plastik yang dihasilkan setiap tahunnya, Indonesia menempati urutan kedua di dunia dalam hal produksi sampah plastik dan saat ini sedang menghadapi tantangan yang serius (Bank Dunia, 2020). Ekonomi, kesehatan masyarakat, dan keanekaragaman hayati laut terancam secara serius oleh bencana ini, yang membutuhkan tindakan cepat dan menyeluruh.
Untuk mengatasi masalah sampah plastik, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) 12 menyoroti pentingnya pola produksi dan konsumsi yang berkelanjutan. Mahasiswa sangat penting dalam memajukan praktik berkelanjutan dan konsumerisme yang beretika karena mereka adalah pemimpin masa depan dan anggota masyarakat yang terlibat. Keterlibatan mereka memiliki kekuatan untuk mempengaruhi rekan-rekan, komunitas, dan legislator, membawa perubahan di beberapa bidang.
Krisis Sampah Plastik di Indonesia
Lebih dari 17.000 pulau yang membentuk Indonesia membuat pengelolaan sampah menjadi lebih sulit. Plastik menyumbang hampir 10% dari produksi sampah tahunan Indonesia, yang berjumlah sekitar 65 juta ton (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 2021). Sebagian besar dari sampah plastik ini berakhir di sungai dan laut, membahayakan ekosistem laut dan merusak lingkungan.
Pada tahun 2050, mungkin akan ada lebih banyak plastik di lautan daripada ikan jika tidak ada tindakan yang dilakukan, menurut World Economic Forum (2016). Angka yang memprihatinkan ini menekankan betapa mendesaknya upaya memerangi polusi plastik demi ekosistem dan kesejahteraan masyarakat yang bergantung pada sumber daya laut.
Sampah plastik memiliki dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat selain merusak lingkungan. Konsumsi makanan laut oleh manusia telah ditemukan mengandung mikroplastik, yang menimbulkan kekhawatiran akan dampak kesehatan yang mungkin terjadi (Rochman et al., 2015). Selain itu, konsekuensi finansial dari polusi plastik sangat besar.
Menurut proyeksi Bank Dunia, hilangnya pendapatan dari pariwisata dan perikanan dapat menyebabkan dampak ekonomi tahunan sebesar $1,3 miliar bagi masyarakat pesisir Indonesia akibat polusi plastik (Bank Dunia, 2020). Oleh karena itu, mengatasi epidemi sampah plastik merupakan kebutuhan sosial ekonomi dan lingkungan.
Teori Tata Kelola Lingkungan
Kerangka kerja untuk memahami bagaimana banyak aktor berinteraksi untuk mengelola sumber daya alam secara efisien disediakan oleh teori tata kelola lingkungan. Kerangka ini mencakup berbagai strategi, termasuk tata kelola polisentris, yang menekankan kerja sama beberapa badan pemerintahan pada berbagai skala untuk mencapai tujuan bersama (Ostrom et al., 2010).
Gagasan ini sangat relevan dengan Indonesia karena menekankan betapa pentingnya menggabungkan upaya mahasiswa, organisasi pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan sektor komersial untuk memerangi polusi plastik.
Berbagai otoritas yang tumpang tindih dengan berbagai ukuran merupakan ciri dari tata kelola polisentris yang mendorong kerja sama para pemangku kepentingan (Ostrom et al., 2010). Dengan menawarkan wawasan tentang isu-isu akar rumput dan mendorong perubahan kebijakan berdasarkan temuan mereka, mahasiswa dapat bertindak sebagai penghubung antara masyarakat lokal dan entitas resmi dalam upaya Indonesia untuk memerangi sampah plastik.
Selain itu, menurut teori tindakan kolektif, orang lebih cenderung mendukung tujuan bersama ketika mereka percaya bahwa akan ada keuntungan bagi kedua belah pihak (Ostrom et al., 2010). Mahasiswa dapat mengambil keuntungan dari gagasan ini dengan mendukung proyek-proyek kelompok yang mempromosikan keterlibatan kelompok dalam inisiatif keberlanjutan, termasuk kompetisi antar sekolah yang bertujuan untuk mengurangi konsumsi plastik atau program daur ulang di universitas.