Lihat ke Halaman Asli

MENGAKHIRI WARISAN KEBENCIAN SEBUAH REZIM

Diperbarui: 1 Oktober 2015   17:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perspektif G30S Paska Reformasi

Ketika saya membaca sebuah buku pelajaran Sejarah Indonesia terbitan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia 2015, ada yang menarik perhatian saya ketika membaca Bab I dengan judul Perjuangan Menghadapi Ancaman Disintegrasi Bangsa khususnya sub judul, Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI). Jika selama rezim Orde Baru kita hanya mengenal satu narasi bahwa peristiwa Gerakan 30 September 1965 didalangi oleh PKI dan narasi tersebut direproduksi setiap tahun khususnya tanggal 30 September dengan disiarkannya film berjudul Pemberontakkan G30S/PKI di TVRI, namun dalam buku sejarah ini disajikan adanya “enam teori mengenai peristiwa kudeta G30S tahun 1965” yaitu:

1. Gerakan 30 September merupakan persoalan internal Angkatan Darat (AD). Teori ini dikemukakan oleh Ben Anderson, W.F.Wertheim dan Coen Hotsapel.
2. Dalang Gerakan 30 September adalah Dinas Intelejen Amerika Serikat (CIA). Teori ini berasal dari tulisan Peter Dale Scott dan Geoffrey Robinson.
3. Gerakan 30 September merupakan pertemuan antara kepentingan Inggris-AS. Teori ini dikemukakan oleh Greg Poulgrain.
4. Soekarno adalah dalang Gerakan 30 September
5. Tidak ada pemeran tunggal dan skenario besar dalam peristiwa Gerakan 30 September (teori chaos). Teori ini dikemukakan oleh John D. Legge
6. Dalang Gerakan 30 September adalah PKI. Teori ini dikemukakan oleh Nugroho Notosusanto (1)

Sangat menarik saat membaca komentar penulis buku pelajaran tersebut dengan mengajak untuk melihat kepada latar belakang kondisi politik Indonesia semasa Demokrasi Terpimpin dengan mengatakan, “Namun terlepas mana yang benar mengenai G30S, yang pasti sejak Demokrasi Terpimpin secara resmi dimulai tahun 1959, Indonesia memang diwarnai dengan figur Soekarno yang menampilkan dirinya sebagai penguasa tunggal di Indonesia. Ia juga menjadi kekuatan penengah diantara dua kelompok politik besar yang saling bersaing dan terkurung dalam pertentangan yang tidak terdamaikan saat itu: AD dengan PKI” (2). Dengan pemaparan beberapa teori di atas, justru para peserta didik diajak untuk melihat peristiwa Gerakan 30 September 1965 dari banyak perspektif dan bukan hanya dari satu perspektif belaka. Setidaknya pemaparan teori-teori di atas dapat memberikan semacam introduksi agar dikemudian hari mereka dapat melakukan studi mendalam secara tersendiri untuk membuktikan atau menemukan teori-teori baru yang lebih rasional dalam menafsir peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dua bulan paska Gerakan 30 September 1965 yaitu Desember 1965 karya Nugroho Notosusanto berjudul 40 Hari Kegagalan G30S 1 Oktober-10 November diterbitkan oleh Pusat Sejarah ABRI. Sebagaimana dikatakan Wijaya Herlambang, “Inilah versi resmi militer pertama tentang percobaan kup yang mengajukan argumen bahwa dalang dibalik penculikkan dan pembunuhan tujuh perwira militer itu adalah PKI. Karya ini, yang lantas menjadi narasi utama Orde Baru, adalah kajian pertama yang melegitimasi naiknya kekuasaan militer di kancah politik Indonesia dan juga karya pertama yang menjustifikasi aksi pembantaian terhadap kaum komunis” (3).

Sejak tumbangnya Orde Baru 1998 lalu, maka berbagai teori dan kajian baru terus bermunculan yang mempertanyakan kembali siapa penanggung jawab Gerakan 30 September 1965. Pada tahun 2008, John Rossa memetakan sejumlah teori dengan panjang lebar mengenai Gerakan 30 September 1965 yang terbagi sbb: (1) G-30-S sebagai usaha kudeta PKI (2) G-30-S sebagai pemberontakkan perwira muda (3) G-30-S sebagai persekutuan antara perwira Angkatan Darat dan PKI (4) G-30-S sebagai konspirasi PKI (4). Dalam akhir bab, John Rossa membuat kesimpulan, “Seandainya pasukan Suharto menanggapi G-30-S dengan setimpal, seharusnya mereka hanya menangkap dua belas orang anggota Politbiro PKI, begitu juga tokoh-tokoh militer dan sipil yang terlibat dalam G-30-S. Tapi bahwa Angkatan Darat memburu setiap anggota PKI dan setiap anggota Ormas yang terkait dengan PKI memperlihatkan bahwa tanggapan Angkatan Darat tidak ditetapkan oleh kebutuhan untuk menindas G-30-S sana…Angkatan Darat mulai merekayasa bukti tentang PKI pada awal Oktober 1965. G-30-S merupakan dalih yang tepat sekali untuk melaksanakan rencana Angkatan Darat yang sudah ada sebelumnya untuk merebut kekuasaan. Jenderal-jenderal Angkatan Darat itu sudah berketetapan hati bahwa perampasan kekuasaan harus menyasar PKI sebagai musuh sambil tetap berpura-pura melindungi Presiden Sukarno”(5). Kesimpulan John Rossa menegaskan kembali apa yang sudah dia sampaikan dalam pengantar bukunya, “Suharto menggunakan G-30-S sebagai dalih untuk merongrong legitimasi Sukarno, sambil melambungkan dirinya ke kursi kepresidenan. Pengambilalihan kekuasaan negara oleh Suhrato secara bertahan, yang dapat disebut sebagai kudeta merangkak, dilakukannya di bawah selubung usaha untuk mencegah kudeta” (6). Analisis dan kesimpulan John Rossa akan tetap menantang dan terbuka untuk dikritisi kembali.

Bukan hanya teori-teori perihal siapa penanggung jawab Gerakan 30 September 1965, melainkan berbagai studi dari perspektif korban dan pelaku mulai bermunculan. Dalam artikel yang dimuat di Koran Kompas tanggal 30 September, Sejarawan LIPI Asvi Warman Adam membuat pemetaan menarik mengenai “lima episode pengkajian dalam Historiografi Indonesia” yaitu: “Pada tahap pertama diperdebatkan siapa dibalik peristiwa itu. Fase berikutnya merupakan periode yang panjang, berupa monopoli sejarah sepanjang Orde Baru, hanya versi tunggal pemerintah yang diperbolehkan. Pada episode ketiga, korban mulai bersuara setelah Soeharto berhenti sebagai presiden tahun 1998. Tahun 2008 sudah muncul narasi baru yang utuh mengenai Gerakan 30 September 1965 (G30S), seperti ditulis John Roosa yang menjadi tonggal keempat.Episode kelima ditandai dengan pemutaran film Jagal (2012) dan Senyap (2014), yakni ketika para pelaku mulai berterus terang” (7).

Berbicara perihal korban pembunuhan massal paska 1965, Robert Cribb melaporkan sejumlah artikel dan laporan dari berbagai pihak yang menyatakan secara baragam jumlah korban pembantaian masal yang mengerikan yang menimpa orang-orang Komunis, mulai dari angka 150.000 sampai 1.000.000 (8). Pembunuhan masal ini tidak masuk dalam materi buku sejarah Indonesia sebagiaman dikatakan Asvi Warman Adam dalam pengantar buku Robert Cribb, “Peristiwa G30S 1965 secara faktual diikuti oleh pembunuhan massal di berbagai daerah di Indonesia. Pembantaian ini nyaris tidak pernah disebut dalam buku pelajaran sejarah di sekolah semaca Oder Baru” (9). Jika paska 1965 terjadi pembantaian masal terhadap orang-orang Komunis, maka paska pembantaian massal, terjadi fenomena melonjaknya angka pertambahan pemeluk agama khususnya Agama Kristen pada periode waktu 1965-1971 karena orang-orang komunis melakukan eksodus menjadi warga gereja. Avery T. Wilis dalam Indonesian Revival: Why Two Millions Came to Christ (1978:193) melaporkan perihal pertambahan warga gereja yang terjadi di lima gereja yaitu GKJW (106%), GKJ (155%), GKJTU (222%), GITJ (111%), GGBI (216%). Ada macam ragam alasan eksodus orang-orang komunis ke dalam lingkungan gereja dan menjadi Kristen/Katholik yang salah satunya, “…siasat bertahan hidup di kalangan para eks tapol dan keluarga mereka, setelah mendapat tekanan yang keras baik secara fisik maupun sosial dari berbagai pihak, seperti negara, organisasi massa keagamaan dan lingkungan terdekat. Stigma sebagai ‘musuh negara’ dan ‘ateis’ telah membawa kesulitan dalam kehidupan sosial mereka. Tekanan itu mendorong mereka menyambut baik sikap gereja yang memperhatikan nasib mereka dan melakukan penentangan terhadap ketidakadilan sosial yang menimpa mereka” (10).


Apakah Komunisme Masih Menjadi Ancaman Laten Bagi Ideologi Pancasila dan Keamanan Nasional?

Pihak militer dalam hal ini TNI (11) dan beberapa ormas Islam (12) masih menganggap Komunisme adalah kekuatan laten yang patut diwaspadai dan jika perlu dilakukan tindakan-tindakan baik yang bersifat pengawasan atau penangkapan. Hal ini terlihat dari sejumlah ungkapan dan penilaian-penilaian yang bernada himbauan kewaspadaan dengan istilah “waspada bahaya neo komunisme”, “waspada bahaya laten komunisme”. Yang terbaru adalah kerjasama FPI dan TNI dalam mengantisipasi kemunculan apa yang dianggap mereka dengan sebutan “Neo PKI”. Dalam pertemuan pada Tanggal 10 Agustus 2015 tersebut pihak FPI menyerahkan apa yang mereka sebut sebagai bukti-bukti kehadiran komunis di masyarakat sementara pihak TNI mengatakan, bahwa Komunis di Indonesia sudah bersenyawa dengan gerakan liberal sehingga faham dan gerakan komunis semakin menyebar baik melalui tayangan film, buku, seminar bahkan sudah bisa mengumpulkan 1200 kepala desa di Monas Jakarta beberapa waktu lalu (13). Pangdam juga sangat setuju film G.30 S.PKI diputar ulang kembali di TVRI dan bisa juga FPI memutar dan menyebarkan filmnya untuk anak anak muda di rumah rumah, sekolah, kampus, majlis taklim (Pangdam memberi VCDnya).

Begitu sensitifnya isu “Neo PKI”, sehingga tahun lalu saat ada seorang pemuda di Yogyakarta ditangkap atas dasar pelaporan masyarakat karena kedapatan menyetel lagu “Genjer-Genjer” yang kerap dihubungkan sebagai simbolisasi PKI (14). Tidak kurang mengejutkannya reaksi Pangdam Diponegoro (saat masih menjabat) Mayjen TNI Hariono saat membuat pernyataan, “Bapak saya tentara sehingga tahu persis kebiadaban PKI, sehingga kalau muncul lagi di Jateng dan DIY pasti akan saya hancurkan....Kami sudah mengendus adanya indikasi munculnya PKI. Perlu dicatat, jangan coba-coba PKI bangkit di wilayah Jateng dan Jogja, pasti akan saya tumpas dan hancurkan. Hancurkan itu ngerti? Hancurkan ya tak pateni (saya bunuh)"(15). Tidak ketinggalan Jokowi sebelum menjadi Presiden Republik Indonesia kerap mendapatkan penisbatan sebagai komunis dan orang-orang dilingkaran Jokowi memiliki afiliasi komunis (16).

Tanpa mengurangi kewaspadaan terhadap kebangkitan kembali ideologi kiri di era Reformasi paska tumbangnya rezim Orde Baru (yang ditandai dengan maraknya berbagai situs internet maupun buku-buku yang memaparkan teori-teori Marxis maupun ideologi Sosialisme dan Komunisme) namun penilaian-penilaian di atas bukan hanya mengingatkan kembali iklim represif di masa pemerintahan Orde Baru sehingga siapapun dapat dinyatakan bersalah di-PKI-kan jika terjadi gesekan-gesekan sosial dan politik di masyarakat namun juga menimbulkan “paranoia sosial” alias ketakutan sosial yang terlalu berlebihan. Mengapa demikian? Faktanya, tidak satupun kita menemukan milisi-milisi bersenjata yang dihubungkan dengan kebangkitan komunisme yang melakukan aksi terorisme dan tindakan-tindakan intoleran yang meresahkan masyarakat? Kalaupun ada indikasi kekuatan ideologi kiri yang menungganggi aksi-aksi demonstrasi anarki mahasiswa sepanjang 1998-1999 yang berdarah-darah untuk menggulingkan pemerintahan Soeharto dan menggoyang kepemimpinan Habibie sebagaimana ditulis Dra Markonina Hartisekar dan Drs Akrin Isjani Abadi dalam bukunya Mewaspadai Kuda Troya Komunisme di Era Reformasi (17), hanya terbatas dalam penolakkan terhadap sebuah kepemimpinan dan kebijakkan pemimpin yang terpilih yang masih terkait dengan rezim Orde Baru.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline