Lihat ke Halaman Asli

Analisis Problem Pemberdayaan Masyarakat Studi Kasus: Krisisnya Eksistensi Seniman Ukir di Jepara Kota Ukir

Diperbarui: 7 Juli 2024   08:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

By: Gambarukirankayu.blogspot. com

Kota Jepara terkenal dengan sebutan kota ukir, hal ini karena di Jepara terdapat banyak warga jepara yang menjadi seniman ukir dan banyaknya industri rumahan mebel ukir yang dimiliki warga Jepara. Seni ukir di Jepara telah ada sejak zaman pemerintahan Ratu Kalinyamat pada tahun 1549 dan terus berkembang karena keahlian mengukir di turunkan turun temurun antar generasi. Eksistensi ukiran dari Jepara ini semakin berkembang luas sebab adanya peran RA Kartini yang membantu menjual produk-produk tersebut ke Semarang dan Batavia.

 Bermula dari RA. Kartini kini tidak jarang masyarakat Jepara dapat mengekspor hasil industri mebelnya ke luar kota hingga luar negeri. Tercatat, Jepara telah menyumbang pendapatan negara dengan ekspor mebel ke 165 negara. Bahkan, Jepara telah dikenal sebagai The World Carving Center atau pusat ukir dunia. Namun, seiring berkembangnya zaman dan teknologi modern, banyak warga Jepara yang kehilangan pelanggannya dan meninggalkan indutrinya sendiri karena harga jual yang sulit dan banyaknya persaingan yang ketat.

Faktanya peminat lebih memilih belanja online yang dirasa lebih murah dan mudah tanpa melihat kualitas hasil seni dan bahannya. Hal inilah yang menyebabkan minat warga seniman di Jepara memilih pensiun dan mendorong putra putrinya sebagai generasi seniman untuk tidak melanjutkan kemampuan seni mengukir yang dimiliki. Selain itu, banyaknya pabrik yang berdiri di Jepara dengan membuka banyak lapangan pekerjaan juga mengakibatkan para seniman di Jepara lebih memilih bekerja di pabrik yang dirasa gaji lebih menjanjikan dibanding dengan menekuni industri mebelnya yang belum tentu laku atau menguntungkan.

Melihat fenomena ini akhirnya kota jepara yang terkenal dengan sebutan kota ukir sudah sangat langka akan para seniman ukirnya. Hal ini juga terjadi karena para generasi muda mudi Jepara sudah amat jarang yang berminat belajar mengukir. Menanggapi hal ini baru-baru ini di Jepara diadakan lomba mengukir di tingkat SD dan SMP. Lomba ukir di SMKN 2 Jepara ini diikuti oleh 18 Siswa yang terdiri dari delapan murid SMP dan 10 murid SD. Mereka harus menyelesaikan motif ukiran khas Jepara, yakni daun trubusan selama 3 jam. Hal ini diharapkan untuk mencetak generasi-generasi baru para seniman di Jepara.

Melalui progam lomba yang diikuti oleh belasan siswa tentu belum menjadi sebuah gebrakan besar untuk memperbaiki masasalah ini. Lalu bagaimana cara mengembalikan Jepara sebagai Jepara kota ukir sesungguhnya sebagaimana terdahulu yang banyak akan seniman dan industri mebel ukir di Jepara? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis mencoba menganalisis problem pemberdayaan masyarakat di Jepara menggunakan teori SWOT yang diharapkan dapat menemukan celah jalan keluar dari permasalahan krisisnya seniman ukir di Jepara.

Berikut analisis teori SWOT (kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman) terhadap studi kasus problematika pemberdayaan di kota Jepara:

Kekuatan/Potensi: keahlian seni mengukir warga Jepara

Peluang: menciptakan sumber daya pencaharian dan kemajuan kota Jepara

Kekurangan: minimnya minat warga yang mau menekuni keahliannya dan krisisnya generasi muda mudi yang meminati seni ukir.

Ancaman: persaingan penjualan hasil seni ukir yang ketat dan terus merosotnya permintaan dari konsumen.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline