Adaptasi film "Ghost in the Shell" yang dirilis pada tahun 2017 menjadi bentuk nyata gagalnya proses pemindahan karya fiksi ilmiah (Manga) Jepang ke layar lebar (bioskop) Hollywood. Proyek yang dikerjakan dengan anggaran berjumlah besar dan dibintangi oleh aktris ternama, Scarlett Johansson ini mengalami kegagalan cukup besar yang disebabkan oleh serangkaian kesalahan strategis.
Masalah utama yang menjadi faktor, bermula dari keputusan kontroversial casting untuk pemainnya. Scarlett Johansson, merupakan salah satu aktris Amerika berkulit "putih". Ia dipilih untuk memerankan Major Motoko Kusanagi, yang merupakan karakter perempuan Jepang dari manga original. Pilihan ini langsung menuai kritik keras dari komunitas penggemar dan aktivis representasi, yang menilai keputusan tersebut sebagai praktik "whitewashing" dalam industri film.
Whitewashing yang dimaksud dalam industri perfilman ini adalah aktor atau aktris "berkulit putih" yang memerankan karakter "non-kulit putih". Keputusan ini menurunkan kredibilitas film sejak awal, yang memancing adanya penolakan signifikan dari komunitas penggemar atau penonton.
Faktor Kegagalan Adaptasi
Akan tetapi, desain visual dalam film ini sudah cukup memukau penonton, dengan efek khusus yang canggih dan mencoba meniru estetika cyberpunk seperti di anime asli. Namun, masih saja keindahan visual ini tidak mampu menutupi kelemahan fundamental yang terdapat dalam narasi cerita. Sutradara film Ghost in the Shell (2017) ini, Rupert Sanders cukup gagal dalam menangkap kedalaman filosofis yang menjadi karakteristik utama karya asli dari Masamune Shirow.
Dalam anime originalnya, "Ghost in the Shell" merupakan eksplorasi mendalam tentang identitas, kesadaran, dan batas antara relasi atau hubungan manusia dengan mesin. Adaptasi Hollywood ini sebaliknya, mengubah cerita kompleks menjadi sekadar film aksi dengan plot yang dianggap dangkal. Tema-tema filosofis yang rumit diubah menjadi lebih sederhana, hanya dalam bentuk narasi pertarungan antara sisi kebaikan dan sisi kejahatan yang klise pada film adaptasi ini.
Aspek - aspek kultural atau tradisional dalam manga, juga menjadi diabaikan dalam adaptasi film layar lebar ini. Dunia cyberpunk di Jepang yang kaya akan suasana unik dan khas, digantikan dengan bentuk representasi Hollywood yang generik dan klise. Sehingga, elemen - elemen dalam budaya aslinya menjadi hilang, dan keunikan dari konteks original ceritanya memudar keotentikannya.
Hasil Prediksi Ahli
Hasil perhitungan angka dari box office pun membuktikan data adanya kegagalan dalam film adaptasi ini. Dengan jumlah anggaran biaya produksi yang bertotal sekitar 110 juta dolar, film Ghost in the Shell (2017) hanya mampu mengumpulkan pendapatan secara global, sekitar 96 juta dolar. Jumlah angka ini tentu jauh dari harapan yang diinginkan oleh studio, yaitu untuk mendapatkan keuntungan yang signifikan.
Kritikus - kritikus film, kebanyakan memberikan penilaian yang negatif mengenai film adaptasi ini. Mereka menilai dalam adaptasinya, film ini kehilangan jiwa dan substansi karya yang original. Scarlett Johansson, meski seorang aktris papan atas dan memiliki kemampuan akting solid, masih dianggap tidak mampu menyelamatkan skenario yang lemah.
Kasus "Ghost in the Shell" ini cukup menjadi pelajaran yang berharga bagi industri film, tentang pentingnya respek terhadap sumber material yang didapat. Sebuah bentuk dari adaptasi tidak hanya sekedar mengubah atau memindahkan visual, melainkan harus mampu menangkap esensi dan spirit dari karya aslinya.
Kesuksesan dari adaptasi film layar lebar tentu membutuhkan pemahaman yang mendalam, kemampuan akan sensitivitas kultural, dan keberanian untuk tetap setia pada visi original, dan tetap menghadirkan perspektif baru yang segar, unik, dan masih relevan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H