Lihat ke Halaman Asli

Mempidanakan Kasus Perdata Menara BCA, Terobosan Hukum?

Diperbarui: 16 Maret 2016   14:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sekarang ini sedang ramai dibicarakan tentang salah satu kawasan yang memiliki nilai sejarah yang kuat, apa itu? Yap, Kawasan Hotel Indonesia. Sebelum tahun 2004, kondisi HI yang dikelola oleh PT Hotel Indonesia Natour sebagai BUMN sangatlah lesu dan kurang bisa bersaing dengan hotel lainya bahkan pendapat Hotel Indonesia tidak menyampai 2 milyar pertahunnya. Pada kawasan super strategis itu tidak lah heran, tanah-tanah kosong milik HI sangat menjadi incaran Investor untuk memulai bisnis-bisnis cantik yang menghasilkan keuntungan.

Kesempatan itu pun turut dilihat oleh PT HIN dan perjanjian Build Operate Transfer atau BOT dijadikan solusi kala itu. Apa itu perjanjian BOT? Pada dasarnya, Investor bisa membangun bangunan di tanah milik negara dan melakukan usaha di tempat tersebut. Lalu diakhir kontrak seluruh aset dari invenstor tersebut diserahkan kepada negara atau dalam kasus ini diserahkan kembali ke PT HIN.

Singkat cerita, PT Cipta Karya Bumi Indah (CKBI) berhasil memenangankan tender BOT dan bersama PT Grand Indonesia siap membangun kawasan hotel Indonesia. Tentu saja selama masa kontrak PT CKBI dan GI tidak gratis menggunakan tanah tersebut, mereka harus membayar kompensasi yang sesuai dengan keuntungan besar yang memang akan mereka dapatkan. Kurang lebih kompensasinya sekitar 10 milyar pertahun.

[caption caption="http://shellaandianty.blogspot.co.id/2016/03/mempidanakan-kasus-perdata-menara-bca.html"][/caption]

[caption caption="http://shellaandianty.blogspot.co.id/2016/03/mempidanakan-kasus-perdata-menara-bca.html"]

[/caption]

[caption caption="http://shellaandianty.blogspot.co.id/2016/03/mempidanakan-kasus-perdata-menara-bca.html"]

[/caption] Masih kurang kompensasinya? Masih ternyata. Pada tahun 2010, munculah opsi perpanjangan kontrak BOT yang datang langsung dari pihak PT HIN. Tadinya kontrak tersebut akan berakhir pada tahun 2035 dan diperpanjang hingga tahun 2055. Bagi PT GI tentu senang, tapi diinformasikan bahwa itu tidak gratis. Kompensasi yang dibayar pada saat itu adalah 400 milyar! Angka ini dihitung dari 25% x Rp1,54 Triliun (nilai NJOP yang berlaku pada saat opsi perpanjangan itu disepakati yaitu tahun 2010).

Lalu masalahnya dimana? Masalah muncul kembali tahun 2016 ini. BPK mengeluarkan audit keuangan yang menyatakan bahwa PT GI dianggap merugikan negara 1.26 triliun karena BPK menghitung 25% dikali nilai NJOP tahun 2014 dimana itu adalah 4 tahun setelah perpanjangan kontrak. Bagaimana nilai NJOP 2014 bisa diperkirakan di 2010 sedangkan nilai NJOP sangan fluktiatif.

Belum selesai. PT GI masih terus diserang oleh pihak HIN karena dianggap wanprestasi atau melanggar kontrak dengan membangun Menara BCA dan apartemen Kempinski. Yang menarik adalah itu baru diusut sekarang, sedangkan PT HIN sendiri sudah lama menjadikan lantai 39 Menara BCA sebagai kantor.

Sudah jatuh tertimpa tangga memang. Permasalahan belum selesai, Jaksa Agung sudah turun tangan dan menganggap ini adalah kasus pidana. Dari seluruh permasalahan diatas bisa kita lihat sama sekali tidak ada tindak pidana yang muncul karena semua itu adalah permasalan kontrak yang seharusnya menjadi kasus perdata dimana ada 2 perusahaan yang membuat kontrak dan jika memang muncul permasalahan mengenai kontrak itu bukan berarti itu berubah seenaknya menjadi pidana. Semoga kasus ini bisa selesai dengan baik dan tidak menjadikan invenstor menjadi takut untuk menanamkan modal di Indonesia.

 

Sumber:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline