Aku tidak tahu bagaimana melabeli pertemanan ini. Kami memang satu kampus dan satu jurusan. Kost-an kami pun berdekatan. Mungkin hanya karena dua faktor itu yang membuat kami terlihat 'akrab'. Terlihat akrab memang perlu menggunakan tanda kutip, menggambarkan sebenarnya kami berdua lebih sering bersinggungan, saling mengejek dan hal-hal lain yang tidak nampak manis sebagai sepasang sahabat. Sering merasa tidak bersalah telah membuat orang menunggu, merepotkan orang lain meski dia bisa melakukannya sendiri. Tubuhnya memang ringkih itu yang membuat kami, teman-temannya terkadang jatuh kasihan padanya karena keluarganya tinggal di Lampung.
Teman-temanku di kampus ketika tak sepaham dengan sifatnya dan gemas setengah mati padanya selalu mengatakan, "itu tuh kelakuan sahabatmu terbaikmu." Aku tahu mereka mengejekku. Mereka tahu benar bahwa aku selalu berseteru dengannya. Karena hanya aku yang berani mengejek dan mengata-ngatainya. Temanku yang lain tak akan melakukan hal itu, mereka tak ingin tampak buruk di depan umum atau mungkin malas melayani hal remeh temeh seperti ini.
Waktu berlalu. Kami sibuk dengan dunia masing-masing. Lulus kuliah ada yang bekerja, menikah, dan beberapa lainnya melanjutkan sekolah ke pasca sarjana. Satu hal yang membuatku sedikit terkejut, aku mendengar kabar, sahabat 'akrabku' itu melanjutkan kuliah, tidak tanggung-tanggung, S2 nya langsung mengambil di Jerman. Meski sekolah disana gratis, setahuku mereka meminta jaminan rekening sekian puluhan juta. Itu tidak masalah untuk keluarganya yang memang sukses dan kaya. Adiknya pun sudah kuliah disana terlebih dahulu. Tapi aku tahu bagaimana tertatihnya dia menyelesaikan skripsinya.
Kehidupan terus berubah, beberapa tahun berlalu semenjak aku mendengar kabar terakhir darinya. Tiba-tiba dia mengirimiku sebuah pesan, bahwa dia sedang berada di Bandung dan ingin bertemu denganku. Kami pun bersepakat menentukan tempat karena kebetulan hari itu aku akan berada di lapangan. Pukul 12 waktu yang kami tentukan. Aku menunggu hampir 15 menit. Kuhubungi, katanya supirnya sedang sholat jum'at. Aku tak bisa menunggu dan langsung pergi ke tempat lainnya.
Tiba-tiba suatu hari temanku satu kampus mengirimiku pesan, bahwa, dia sahabat 'akrab'ku itu meninggal karena dehidrasi setelah pulang menjalankan umrah. Mendadak lututku terasa lemas. Hatiku terasa sesak. Penyesalan yang tak ada guna. Samar aku mengingat, sms terakhirnya, tepat 40 hari kepergiannya. Seandainya dulu aku berdamai dengan sedikit jam karetnya, menunggunya sebentar saja, mungkin kami akan bertemu, setelah bertahun tak berjumpa wajah dan hanya sesekali bertukar pesan, saat itu mungkin aku atau dia lebih dewasa lalu mentertawakan perselisihan ketika kuliah dulu.
Betapa sedihnya kehilangan sahabat'akrab'. Aku akan mengingat semua pertengkaran-pertengkaran kami yang tak penting karena hal-hal sepele, rengekannya untuk mengantar jemput ke rumah sakit tempat dia memasang behel, memohon-mohon padaku agar ia di ajak serta piknik ke luar kota. Dia memang sedikit menyebalkan tapi bukankah persahabatan tak selalu berwarna manis. Persahabatan semacam itu yang kelak akan menguar-nguar dalam diam dan ramaiku.
Selamat jalan sahabat akrab.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H