Lihat ke Halaman Asli

Keberuntungan, Kesempatan, dan Resiko

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pagi ini saya membaca kalimat terakhir pada satu status penulis yang buku-bukunya saya punya:  saya tidak terbiasa hidup tanpa resiko. Saya diam sejenak dari kegiatan mengunyah. Saya sedang memikirkan apakah yang sedang saya lakukan ini juga sebuah resiko dari keputusan yang saya ambil. Memang saya tidak sedang berbisinis apa pun. Karena resiko pun bukan hanya berteman dengan bisnis. Tapi menyangkut banyak hal, dari yang paling remeh temeh sampai yang paling bikin mumet.

Begini, dalam hal mendapatkan pekerjaan, saya termasuk beruntung. Dari mulai lulus kuliah, saya dimudahkan untuk diterima bekerja, lalu resign,lalu bekerja kembali, begitu terus sampai 8 atau 10 kali ya, saya sudah lupa. Tentu ini contoh yang tidak baik, keluar masuk pekerjaan. Tidak patut ditiru. Soal itu nanti saja aku ceritakan kawan. Kembali lagi pada soal keberuntungan dalam hal mendapatkan pekerjaan. Pada saat itu paling lama saya menganggur hanya 6 bulan, itu pun karena saya tidak sedang mencari pekerjaan, tapi sedang menikmati masa-masa menganggur dengan jalan-jalan. Kelihatan keren sekali kan? Pengangguran tapi bisa jalan-jalan.

Di tahun 2012, pada sebuah pagi yang masih beku, saya menapaki lantai kayu di sebuah toko retail tempat saya bekerja. Ruangan di lantai dua itu semua terbuat dari kayu termasuk dindingnya.  Saya merasa sepi untuk apa yang telah saya lakukan. Ada rasa lelah pada langkah dan pada hati yang tak memberi. Begitulah.

Pun ketika rasa lelah itu telah penuh, saya masih saja tetap ragu, lalu melamar kerja, lalu resign, begitu terus, sampai saya di PHK dalam sebuah pesan singkat. Saya merasa itu tamparan paling keras dalam hidup saya. Di PHK ketika saya sudah mulai merasa yakin.

Beruntungnya saya, setelah kisah paling tragis itu, saya justru mendapatkan banyak tawaran dari rekan-rekan kerja saya dulu termasuk para mantan bos. Tawaran pekerjaan yang sudah saya pahami dengan baik. Tapi yang membuat saya mengharu biru adalah bukan karena jabatan yang ditawarkan, tapi sebuah kepercayaan untuk menawari saya bergabung. Itu sungguh menyentuh hati.  Membuat saya sering mereka-reka apa iya saya mempunyai kemapuan yang mumpuni sehingga banyak ditawari pekerjaan. Tapi sebuah jawaban  atas reka-an saya sungguh sangat dramatis. Satu diantara mereka bilang begini, mungkin banyak orang yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata, tapi saya menawari kamu karena kamu gila. Hah?

Jika dari 10 teman dan 8 diantaranya menyarankan untuk menerima satu dari tawaran pekerjaan itu tentu saya anggap sangat masuk akal. Mereka khawatir pada saya yang semakin menua dan mesti bersaing dengan para fresh graduate, resah pada pengangguran yang menggunung, dan cemas pada kesedihan yang sedang saya alami, tentulah menerima satu dari pekerjaan itu sebagai obat paling mujarab dan solusi yang paling masuk akal.

Tapi saya kira saya sedang menghadapi resiko untuk apa yang telah saya putuskan sendri.Tanggal 26 maret nanti, tepat setahun saya tanpa office hour, tanpa gaji bulanan, tanpa reward sekaligus omelan. Sangat mungkin saya salah dalam mengambil sebuah keputusan, tapi tak elok jika kamu tak pernah mencoba, sepanjang kamu bertanggung jawab untuk sebuah resiko atas sebuah keputusan.  Esok hari masihlah tetap sebuah misteri.

Saya sedang mencari, mencari sesuatu yang sering tiimbul dan lebih banyak tenggelam dari sebuah mimpi yang masih samar. Dari sebuah ingin yang seringkali dilemahkan. Dari sebuah semangat yang sering di patahkan.

Selamat pagi resiko.#




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline