Jokowi selaku Presiden dinilai tidak netral dalam pemilu 2024. Bawaslu mengungkapkan adanya aturan yang mengatur keterlibatan Pemimpin Negara dalam pemilu 2024.
Saat mengumpulkan para pimpinan media massa di Istana Kepresidenan (29/05/2023), Jokowi mengaku akan "cawe-cawe" dalam politik demi bangsa dan negara agar tercipta pemilu yang jujur dan adil.
Netralitas Presiden Indonesia yaitu Jokowi kini dipertanyakan oleh banyak masyarakat. Pasalnya bukan hanya istilah "cawe-cawe" yang digunakan beliau dalam pemilihan presiden 2024 saja yang menjadi permasalahan. Namun berbagai gerak-gerik dan tindakan yang dilakukan menimbulkan kecurigaan di masyarakat akan netralitas nya sebagai pemimpin negara.
"Presiden selaku kepala negara dan kepala pemerintahan, saya kira prinsip keadilan dan penegakan integritas dan penyelenggaraan pemilu ini harus dipegang kuat," ungkap Ardhana selaku anggota Bawaslu Jakarta Selatan.
Jokowi memang sudah mengkonfirmasikan bahwa "cawe-cawe" yang diungkapkan merujuk ke arah yang positif. "Dalam pandangan komunikasi politik, saya kira pesan yang terlanjur terbentuk di masyarakat, memang ada latar belakangnya. Misalnya, Jokowi membentuk koalisi, kemudian memang menghantarkan salah satu capres karena mungkin memang satu partai," Ucap Ardhana Ulfa Azis.
Tindakan tersebut tentu menimbulkan benturan dengan apa yang sudah dimaknai masyarakat. Dengan kekuatan dan jaringan yang dimiliki oleh Presiden Indonesia, Jokowi dapat menggerakan seluruh elemen yang ada didalamnya.
"Menurut saya perlakukan politik yang dilakukan presiden jokowi terhadap pemilu 2024 secara objektif sih saya nilainya kurang dapat menunjukan sikap dia yg netral, khususnya kepada capres yg akan mencalonkan diri nantinya. Seperti contoh pada saat presiden jokowi itu menghadiri konferensi pers pengumuman salah satu capres," ungkap Daffa seorang Mahasiswa Ilmu Politik.
"Akibatnya, kalau memang ada penyalahgunaan kekuasaan ya, artinya kekuasaan itu misal cenderung diberikan kepada salah satu kandidat, itu pastinya akan merugikan kandidat lain, terlebih lagi kekuatan presiden RI 1," ucap Ardhana.
Ardhana turut menyetujui bahwa netralitas presiden adalah prasyarat penting untuk mencapai kualitas demokrasi Indonesia yang sehat dan kuat. Beliau menyampaikan bahwa kita hanya berharap, kehendak Presiden adalah kehendak rakyat bersama dan demokrasi bersama. Serta, hasil pemilu ini berasal dari keinginan rakyat, bukan akibat dari intervensi dari pihak-pihak yang bahkan memiliki kekuatan penuh.
Terdapat pasal-pasal yang mengatur bentuk netralitas Aparatur Sipil Negara. Seperti pasal 282 UU No 7 Tahun 2017, menyebutkan bahwa pejabat negara, pejabat struktural, dan pejabat fungsional dalam jabatan negeri, serta kepala desa dilarang membuat keputusan dan/atau melakukan tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu selama masa kampanye.