Perjalanan Presiden terpilih Indonesia periode 2024-2029 Prabowo Subianto ke China pada hari Sabtu tanggal 9 November tahun 2024 membuahkan sebuah joint statmen antara Indonesia-China yang menegaskan kembali tekad mereka untuk memperkuat hubungan bilateral dalam hal perdagangan, infrastruktur, teknologi, dan kerja sama untuk mengatasi tantangan global. Meskipun fokus utama pernyataan tersebut adalah pada kerja sama ekonomi dan pembangunan infrastruktur, Tidak bisa di pungkiri bahwa masih ada kekhawatiran yang timbul terkait dengan tumpang tindihnya teritorial di Laut Natuna Utara.
Laut Natuna Utara, yang terletak di Utara Laut, Kepulauan Natuna, Indonesia, adalah wilayah yang memiliki banyak sekali sumber daya alam. Namun, daerah ini juga menjadi pusat ketegangan antara Indonesia dan China, terutama beberapa tahun terakhir.
China, dengan klaim sepihaknya berdasarkan "Nine-Dash Line" atau Garis Sembilan Titik, telah mengklaim sebagian besar Laut China Selatan, termasuk wilayah perairan di sekitar Kepulauan Natuna yang secara hukum diakui sebagai bagian dari wilayah Indonesia. Klaim tersebut tidak didasarkan pada kesepakatan internasional yang sah ataupun Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982. Meski tidak memiliki bukti sejarah yang kuat atas kepemilikan wilayah ini, China tetap berusaha memperkuat klaimnya tersebut dengan tindakan-tindakan yang semakin agresif, seperti pengiriman kapal-kapal militer dan kapal ikan ke perairan yang menjadi bagian dari Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia. Dengan adanya joint statement Indonesia-China, muncul pertanyaan besar, akankah hal ini berpengaruh terhadap kedaulatan wilayah di Laut China Selatan?
Dalam konteks ini, kerja sama Indonesia dengan China, terutama di bidang ekonomi dan investasi, perlu dilakukan dengan sangat hati-hati. Indonesia juga harus mempertimbangkan dampak politik dari keterlibatannya dalam proyek-proyek besar yang melibatkan China, seperti Belt and Road Initiative (BRI). Meskipun proyek ini menawarkan keuntungan ekonomi, namun hal ini juga bisa menimbulkan potensi bagi China untuk memperkuat pengaruhnya di wilayah Indonesia.
Salah satu contoh yang dapat dijadikan acuan adalah kasus Sri Lanka, yang terlibat dalam utang besar-besaran dengan China akibat proyek-proyek infrastruktur melalui BRI, dan pada akhirnya harus menyerahkan pengelolaan pelabuhan Hambantota kepada China sebagai bagian dari pembayaran utang. Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang potensi ketergantungan jangka panjang pada China yang bisa dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik atau keamanan yang tidak menguntungkan bagi negara yang bekerja sama.
Dengan demikian, Indonesia harus memastikan bahwa kerja sama dengan China tidak berujung pada pengorbanan kedaulatan wilayah. Sebagai negara dengan hak atas Natuna Utara yang jelas berdasarkan hukum internasional, Indonesia perlu memperkuat diplomasi dan menjaga posisi yang tegas agar tidak ada ruang bagi klaim sepihak China atas wilayah tersebut. Kerja sama ekonomi dengan China juga harus diiringi dengan pengawasan ketat terhadap dampak politiknya, serta perlindungan terhadap kepentingan nasional, khususnya terkait dengan kedaulatan teritorial. Meskipun joint statement Indonesia-China menunjukkan komitmen positif untuk memperkuat hubungan bilateral di berbagai bidang, potensi ketegangan tetap ada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H