Lihat ke Halaman Asli

Pengemis, Perlukah Dibantu?

Diperbarui: 24 Juni 2015   04:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Indonesia negeriku tercinta, negeri tempatku lahir dan mencari kehidupan dan kebahagiaan. Negeri yang terkenal diseluruh dunia karena potensi daerahnya. Negeri yang katanya kaya sumber daya alamnya yang berlimpah ruah entah milik siapa. Bahkan limpahan sumber daya alam itu semakin menggila dengan adanya gunung emas disalah satu daerah negeri kita ini tapi sayang justru kita hanya menjadi penonton saat bangsa lain mengeruk kekayaan yang seharus kita nikmati. Ditambah lagi masalah negerimulai dari korupsi, bencana alam, kesenjangan sosial, kriminalitas, hutang luar negeri yang membuat negeri ini semakin sakit. Penyakit kronisnya datang berjamaah yang berakibat komplikasi yangtak bisa lagi dicarikan obatnya.

Aahh sepertinya tak akan habis jika harus membahas masalah negeri ini satu persatu. Namun dari sekian banyak masalah negeri ini, sedikit tersentil rasanya ketika baru-baru ini menggema berita seputar pengemis. Ketika mendengar kata “pengemis” sudah pasti akan terlintas dibenak kita akan orang-orang gembel yang kerjanya minta-minta. Orang-orang ini tersebar diseluruh penjuru negeri tercinta kita dari Sabang-Merauke. Entah dari mana mereka datang, entah bagaimana mereka bekerja, baik yang secara personal ataupun pengemis yang teroganisir. Namun yang pasti mereka ada karena banyak alasan.

Ketika ditanya alasan apa sebenarnya yang melatar belakangi para pengemis itu meminta-minta, kita yakin jawaban mereka akan sama yaitu factor ekonomi. Kitapun bisa menebaknya tanpa harus bertanya langsung pada mereka. Seperti bukan rahasia lagi bahwa mereka bekerja karena tak lagi mampu membiayai kehidupan mereka sendiri. Terbatasnya kemampuan fisik maupun keterampilan membuat mereka turun ke jalan. Mungkin factor usia juga menjadi alasan mengapa mereka mesti meminta-minta. Bagaimana sulitnya bekerja atau mencari kerja bagi mereka yang lanjut usia. Tak banyak orang yang akan mau mempekerjakan lansia. Tak ayal lagi para lansia yang tak terurus ini akhirnya berprofesi mejadi pengemis. Pekerjaannya santai dan sangat menguntungkan. Hanya bermodal muka melas dan baju rombeng mereka akan dilirik banyak orang yang lewat. Jika diperinci bisa disimpulkan beberapa alasan pengemis itu exis bahkan merajalela:

1.1. Faktor Keterbatasan fisik (cacat)

Salah satu penyebab dari sekian banyaknya penyebab para pengemis itu turun ke jalan adalah keterbatasan fisik. Ketika mereka secara fisik tak lagi mampu untuk bekerja dan tak ada yang mau mempekerjakan mereka, mau tidak mau mereka memberanikan diri dan harus bermuka tebal meminta-minta dijalan. Sangat dimaklumi jika mereka memutuskan menjadi gembel dan mengemis karena tak ada lagi cara untuk survive kecuali memohon belas kasihan orang lain. Orang seperti merekalah yang pantas dibantu dan diayomi “jika” mereka benar-benar tak mampu secara fisik (cacat). Namun alangkah miris melihat kenyataan yang terhampar di depan maka kita saat banyak beggar ber-acting seolah-olah mereka cacat (padahal mereka sehat) “and it works”. Terbukti banyak dermawan yang mau membantu mereka karena kasihan. Lebih parah lagi ketika pemerintah DKI, sebagai contoh, memberikan tawaran pekerjaan bagi para gembel dan pengemis dengan kompensasi gaji 1,7 jt/bulan. Namun, niat baik itu tak mendapat tanggapan yang baik. Para gembel itu lebih memilih mengemis, bagaimana tidak? Dari hasil mengemis itu mereka bisa berpenghasilan lebih dari 2jt/bulan bahkan 3jt.Jika itu kenyataannya, perlukah mereka dibantu?

2.2. Faktor usia

Penyebab lain mengapa pengemis itu harus menengadah tangan, bermuka tebal tuk meminta-minta meski banyak orang menghina dan tak dihargai karena dianggap sebagai perusak pemandangan, hanya karena secara umur mereka tak lagi sanggup bekerja keras. Mereka tak lagi mampu mempergunakan fisik mereka untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka ditengah kehidupan yang semakin pelik. Ditambah lagi tak ada orang yang mau mempekerjakan mereka sebagai lansia yang hanya memperlambat kerja bukan membantu. Lebih parah ketika mereka tak punya tempat tinggal dan keluarga. Alhasil, mereka mengemis demi mendapatkan sesuap nasi tuk hari ini, tak tau kemana mereka akan bergantung tuk makan dan tempat tinggal. Namun, kenyataan saat ini yang terlihat banyak pengemis secara fisik sangat mampu bekerja, yang secara umur masih terhitung muda. Dengan modal memelas dan baju acak-acakan mereka mencari keuntungan dan income yang sangat mudah dan banyak dari para dermawan. Jika itu kenyataannya, pantaskah mereka dibantu??

3.3. Faktor eksistensinya para dermawan

Mungkin muncul dibenak kita kenapa dermawan menjadi penyebab semakin menjamurnya para gembel dan pengemis? Tentu saja itu sangat mungkin, karena dari para dermawan itu para pengemis abal-abal itu merauk penghasilan, dari rasa belas kasihan para dermawan itu pula pengemis abal-abal ini memperkaya diri. Dermawan terkasih ini sudah seharusnya mendapatkan media kemana mereka seharusnya memberikan sedekah mereka. Karena jika tidak, niat baik para dermawan ini bisa salah sasaran. Yang awalnya niat baik ingin membantu justru dimanfaatkan oleh oknum-oknum yang tak bertanggungjawab yang hanya memikirkan perut mereka sendiri tanpa mau bekerja keras. Sungguh mulia niat dermawan ini jika disalurkan ke tempat yang tepat. Jika itu tetap dibiarkan maka akan berakibat menguatnya mental pengemis di negeri ini. Menjamurnya mental pemalas perusak bangsa ini. Maka, perlukah pengemis seperti itu dibantu?

4.4. Faktor peran serta pemerintah

Pemerintah punya andil besar dalam menanggulangi permasalahan gembel dan pengemis di negeri ini. Jika praktek-praktek jahat diatas dilanjutkan maka tak bisa dibayankan akan sepertia apa negeri ini 20 tahun yang akan datang. Padahal anak-anak terlantar dan lansia itu dilindungi undang-undang. Mereka punya hak untuk mendapatkan bantuan, perlindungan dan penghidupan yang layak. Sudah saatnya pemerintah terjun langsung mengatasi masalah ini. Pemda disetiap penjuru negeri ini sudah pantas memberikan perhatian lebih kepada para pengemis. Jangan biarkan pengemis yang tak berdaya hidup dijalanan. Dan jangan biarkan pula pengemis abal-abal memanfaatkan kesempatan untuk memperkaya diri. Pemerintah juga seharusnya mampu berperan aktif memberikan media bagi para dermawan agar sedekah mereka tak tersesat di jalan. Niat baik para dermawan seharusnya diberikan apresiasi dan sarana yang bisa membantu negeri ini mengatasi kesenjangan sosial.

Finally, perlukah pengemis dan gembel itu dibantu? Jawabannya tentu saja “iya”. Mereka sudah selayaknya mendapatkan perhatian dari kita semua. Baik mereka yang benar-benar pengemis atau mereka yang abal-abal. Mereka yang benar-benar pengemis seharusnya diberikan kesempatan untuk hidup yang layak. Jika mungkin memberikan mereka penyuluhan, perhatian, pekerjaan atau modal untuk membuka usaha. Nah, lantas yang abal-abal gimana? Mereka malah seharusnya diberikan perhatian “lebih” dalam artian, jangan lagi biarkan mereka memiliki mental pengemis, berikan mereka pemahaman dan penyuluhan. Jangan biarkan mereka turun ke jalan lagi. Pidanakan jika perlu. Cukup sudah bangsa ini diolok-olok oleh bangsa lain sebagai bangsa kaya yang tak bisa sejahtera, bangsa kaya yang tak maju-maju, bangsa kaya yang sedang sekarat, jangan tambah lagi sebutan baru untuk bangsa ini. Haruskah kita menunggu bangsa lain mengatakan bangsa ini adalah bangsa pengemis baru kita akan bertindak?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline