Masyarakat Baduy tinggal di Kabupaten Lebak-Banten, di sebuah kawasan hutan seluas 5.100 ha. Tidak ada jaringan listrik, TV, radio, kendaraan, ataupun infrastruktur jalan yang memadai. Kendaraan hanya sampai di Ciboleger atau pintu gerbang masuk kawasan Baduy.
Selanjutnya pengunjung harus rela berjalan kaki kira-kira 1-2 jam sebelum bertemu dengan perkampungan masyarakat Baduy yang pertama. Namun jangan salah, perjalanan panjang tersebut sangat menyenangkan dengan adanya hutan alam yang mampu memayungi pejalan kaki dari sengatan terik matahari, gemericik aliran air sungai yang begitu jernih membantu menyegarkan kaki-kaki yang letih mendaki, atau aroma kesegaran alam yang memanjakan indera penciuman kita.
Suku Baduy terbagi menjadi Baduy Dalam dan Baduy Luar. Baduy Dalam masih lebih erat dalam memegang adat istiadat dibandingkan saudaranya Baduy Luar. Cara termudah untuk membedakan mereka adalah masyarakat Baduy Dalam menggunakan ikat kepala warna putih, sedangkan masyarakat Baduy Luar menggunakan ikat kepala biru. Nah perkampungan pertama ini merupakan tempat Baduy Luar tinggal. Butuh waktu sekitar 4- 8 jam untuk bisa bertemu dengan perkampungan Baduy Dalam.
Alunan suara seruling yang mendayu dan denting petikan kecapi khas sunda menyambut kedatangan wisatawan di kampung Cibeo. Lelah dan letih seolah sirna dengan sambutan itu. Harmoni keindahan alam Pegunungan Kendeng, keramahan masyarakat Baduy, dan keunikan tradisinya ibarat orkestra yang mampu memanjakan seluruh panca indera. Masyarakat Baduy mampu bersinergi dengan alam.
Hasil alam dimanfaatkan secara bijaksana sesuai kebutuhannya. Mereka menyimpan gabah hasil panen padi di lumbung padi (leuit). Masyarakat Baduy melarang jual-beli padi/gabah.
Gabah dimasak menjadi nasi untuk digunakan sendiri atau disajikan kepada tamu. Bau harum nasi yang baru diangkat dari kukusan, ikan asin yang ditaruh di piring berukuran sedang, dan secobek sambal merah merona adalah obat pelenyap rasa lapar dan letih. Senyum bahagia masyarakat Baduy terlihat jelas kala menyaksikan pengunjung berebut piring dan dengan sepenuh rasa melahap hidangan khas Baduy itu.
Sinergi masyarakat Baduy dengan alam juga terlihat dari rumah-rumah yang ada. Rumah-rumah tersebut terbuat dari kayu dan bambu dengan ijuk atau daun kelapa sebagai atap. Pondasi dibuat dari batu kali dengan kontur tanah tetap miring dan tidak digali demi menjaga kelestariannya. Tidak terlihat paku di rumah masyarakat Baduy Dalam. Yang ada hanya tali rotan atau tali dari bambu sebagai alat pengikat antar komponen rumah.
Bangunan rumahnya memiliki 3 ruangan. Bagian depan difungsikan sebagai tempat menenun untuk kaum perempuan dan tempat untuk menerima tamu; bagian tengah untuk ruang keluarga dan tidur, sedangkan bagian belakang untuk memasak.
Rumah yang selalu menghadap ke utara atau selatan tersebut dibangun secara gotong-royong. Sebuah sinergi khas Baduy tanpa melibatkan unsur uang atau ukuran materi lain yang bersifat duniawi.
Jembatan bambu dalam foto di atas menghubungkan kampung Cibeo dengan lumbung padi. Sungai di bawahnya digunakan untuk tempat mandi, kakus, mencari ikan, atau tempat bermain anak-anak.