"Tidak semua yang masuk penjara orang jahat, dan tidak semua yang di luar penjara orang baik" (Tulisan seorang napi anonim di penjara Italia).
Minggu-minggu ini merupakan waktu yang berat bagi Johnny Gerard Plate dan keluarga besarnya. Stigma negatif bahkan hujatan dari sebagian besar publik harus diterima mereka. Asas praduga tidak bersalah (presumption of innonce) bagi seorang tersangka seperti Johnny Plate (selanjutnya disingkat JP) seolah terhempas oleh berita tentang korupsi "ugal-ugalan" di proyek pembangunan BTS Kominfo. Bayangkan, nilai proyek sebesar Rp10 triliun, 80%-nya dikorup oleh Johnny Plate dan kawan-kawan.
Korupsi pengadaan barang dan jasa masih mendominasi modus operandi korupsi di Indonesia, selain suap-menyuap. Rata-rata nilai korupsi sebesar 30% dari nilai proyek bisa jadi akan terpecahkan jika kasus ini sudah berkekuatan hukum tetap (inkracht). Bahkan bisa menjadi rekor dunia untuk korupsi proyek strategis yang bernilai triliunan rupiah. Sudah sedemikian ugal-ugalankah seorang JP yang dikenal sebagai politisi yang lihai?
Terlalu prematur untuk menarik kesimpulan seperti itu, apalagi menuduh JP sebagai koruptor. Statusnya masih tersangka. Masih panjang prosesnya sampai menjadi terpidana atau bebas. Informasi yang beredar di publik masih minim. Kejaksaan Agung dan Menko Polhukam juga sangat irit memberikan informasi. Kita diminta untuk menunggu sidang terbuka di pengadilan tipikor.
Di tengah gempuran informasi yang menyudutkan JP yang harus bolak-balik diperiksa ditambah berbagai Analisa pakar dan komentar netizen, tulisan ini mencoba memberikan sudut pandang berbeda untuk melengkapi informasi mainstream yang ada. Pendapat yang kami tuliskan di sini tentu saja berdasarkan informasi terbatas yang beredar di media massa.
Sekurang-kurangnya terdapat 6 kontradiksi yang muncul sehubungan informasi penetapan JP sebagai tersangka dalam proyek pembangunan BTS 4G BAKTI Kominfo 2021-2022 (selanjutnya disingkat Proyek BTS).
Kontradiksi Pertama. JP ditetapkan sebagai tersangka dalam kedudukannya sebagai Menteri Kominfo dan Pengguna Anggaran. Hampir tidak mungkin untuk sebuah organisasi sebesar Kementerian Kominfo, seorang Menteri yang juga merupakan Pengguna Anggaran (PA) tidak melimpahkan kewenangannya kepada Kuasa Pengguna Anggaran (KPA).
Jika diasumsikan JP telah melimpahkan kewenangannya kepada KPA, maka kewenangan dan tanggung jawabnya seharusnya beralih kepada KPA. Bagaimana mungkin seorang PA yang sudah mendelagasikan atau melimpahkan kewenangannya dimintai pertanggungjawaban pidana? Kemungkinan itu tetap ada, misalnya jika JP yang sudah mendapatkan laporan tentang adanya penyimpangan, namun tidak melakukan evaluasi dan pengawasan sebagaimana mestinya. Atau bahkan JP justru berperan serta dengan menyalahgunakan kewenangannya sebagai Menteri dalam penyimpangan proyek ini
Kontradiksi Kedua. JP diduga melakukan mufakat jahat untuk mark up harga proyek hingga lebih dari 40%. Salah satu tugas dan kewenangan Pengguna Anggaran (PA) adalah menetapkan perencanaan pengadaan. Seorang PA tidak mungkin dapat mark up harga barang jika dalam proses perencanaan pengadaan tidak ada peran serta pihak lain.
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) yang bertugas menyusun perencanaan pengadaan dibantu tim pendukung atau tenaga ahli. Penyusunan perencanaan pengadaan bersamaan dengan proses penyusunan rencana kerja kementerian. Sebelum ditetapkan oleh Pengguna Anggaran, biasanya draf perencanaan pengadaan yang disusun PPK akan direview oleh Sekjen dan pejabat terkait lainnya. Selanjutnya proses penyusunan anggaran bergulir ke Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan dan DPR (Komisi terkait dan Badan Anggaran).