Lihat ke Halaman Asli

Sharfina

TERVERIFIKASI

Content Writer

Talijiwo, Kritik Sosial, dan Renungan yang Tidak Hanya untuk Sesaat

Diperbarui: 20 Agustus 2019   03:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menyeruput teh hangat sembari membaca Talijiwo (Dokumentasi pribadi)

Sudah berapa lama kau terjebak dengan beragam kesibukan yang tak habis-habis itu? Berhentilah berbusa-busa tentang kemerdekaan bila ternyata kau sendiri tak punya waktu luang. 

Padahal, hanya di dalam waktu luang manusia bisa berpikir dan merenung tentang bagaimana seyogianya mengisi kemerdekaan hidup. 

Maka, waktu luang itu jangan dimampatkan lagi dengan melulu main gadget. Berbincanglah bersamaku. Duduklah di sampingku dan buka ruang imajinasimu. Bersama-sama kita akan larut dalam suara-suara Talijiwo. Mungkin kau akan semakin gelisah, marah, atau justru lupa pada beban dunia. Mari bersama-sama merdeka. Meski kita tetap tak bisa merdeka dari kenangan.

Itulah sepenggal kutipan yang menurut saya sedikit agak "menyindir", yang pada akhirnya membuat saya membeli novel "Talijiwo" di bulan Juni 2019 lalu. 

Yup, bagi saya penggalan kutipan tersebut sangat berjalan lurus dengan fenomena yang terjadi saat ini. Di mana, kita terlalu sibuk untuk berteman dengan gadget, meluapkan segala keresahan dan kelelahan hidup yang kita alami selalu lewat sosial media, sehingga terkadang membuat kita lupa bahwa sebenarnya kita masih punya seseorang yang mau mendengarkan segala keluh kesah hidup yang kita rasakan.

Bagi manusia-manusia yang tidak pernah peka atau memiliki masalah yang sama, saya rasa "Talijiwo" dengan 35 cerita pendeknya tersebut dapat mengajak pembaca untuk menyelam lalu merenungi setiap persoalan yang terjadi di dalam dunia ini. 

Ya mungkin sebagian pembaca akan merasa "tersindir", tapi apa salahnya jika sindiran tersebut membuat kita pada akhirnya peka?

Beberapa cerita yang saya sukai

Ilustrasi dalam cerita | dokpri

Dari 35 cerita pendek yang disajikan dalam "Talijiwo", saya suka dengan beberapa cerita yang mewakili kondisi masyarakat kita saat ini. Seperti dalam cerita "Puasa" yang menceritakan kisah keluarga Nano dan Nunuk serta si anak bernama Ninik yang tak pernah melupakan rekreasi keluarga.

Suatu ketika, keluarga kecil tersebut sudah janjian akan makan di restoran Padang di Mojokerto, namun karena kerjaan si bapak alias Nunuk belum kelar, alhasil si Ninik manyun karena hari itu merupakan hari terakhir restoran tersebut mempertahankan keasliannya, sebab esok-esok karyawan Minang bisa terhitung dengan jari dan selebihnya mereka adalah orang Madura, Bugis, Batak dan Manggarai.

Dari cerita pendek "Puasa" tersebut diceritakan bahwa pemilik warung Padang tersebut menerapkan kebijakan pluralisme tersebut karena terinsiprasi bakso Malang dan Siomay Bandung yang para penjualnya belum tentu asli Priangan atau asli Malang. Iya toh?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline