Mulai dari penolakan vaksin hingga ketidakpercayaan akan pemanasan global, sikap antisains ini menjadi tantangan besar dalam memperkuat kesadaran akan ilmu pengetahuan dan teknologi bahkan sikap tak acuh ini dapat mengancam umat manusia. Antisains merupakan sikap penolakan terhadap ilmu pengetahuan serta metode dan prinsip ilmiah karena adanya teori lain yang tidak terbukti atau menyesatkan, biasanya sikap ini dikaitkan dengan upaya untuk menargetkan dan menjatuhkan ilmuwan (Hotez, 2020).
Terdapat beberapa hal yang mendasari fenomena antisains ini. Pertama, ketidakpercayaan terhadap ilmuwan karena kontradiksi antar ilmuwan, yang seharusnya menjadi wadah untuk diskusi dan perdebatan sehat, menjadi hal yang dianggap mengancam kredibilitas ilmuwan oleh persepsi orang awam. Selain itu, ketidakpercayaan terhadap ilmuwan juga dipengaruhi oleh faktor lain. Misalnya, ketidakpercayaan terhadap kelompok elit yang kemudian ‘menyewa’ ilmuwan untuk berbicara di ruang publik, yang menimbulkan ketidakpercayaan bagi ilmuwan yang inovasinya membutuhkan regulasi pemerintah yang dahsyat. Contohnya saat pandemi COVID-19, terdapat informasi palsu bahwa vaksinasi membuat pejabat yang mempromosikan vaksin akan semakin kaya karena investasi keuangan mereka di berbagai industri farmasi.
Kedua, keinginan seseorang untuk menerima dan mendengarkan informasi yang diberikan. Suatu riset membuktikan bahwa seseorang yang menjadi anggota suatu kelompok atau yang memiliki hubungan dekat dengan suatu kelompok akan memengaruhi respon mereka terhadap penerimaan informasi yang dianggap relevan dengan identitas mereka. Biasanya jika menolak, maka individu tersebut akan memilih untuk meyakini ilmu yang dianggap ilmiah tapi tidak terbukti ilmiah atau yang biasa disebut sebagai pseudoscience. Sebagai contoh, kalung eucalyptus yang dipercaya sebagai mencegah COVID-19 padahal belum teruji ilmiah atau orang yang percaya dukun akan sulit diberi tahu jika penyembuhan patah tulang tidak dapat dilakukan melalui pijatan.
Ketiga, bukti ilmiah yang bertentangan dengan kepercayaan. Orang cenderung menolak fakta ilmiah yang bertentangan dengan apa yang mereka percaya, karena mereka menganggap sesuatu yang bertentangan adalah hal yang tidak menyenangkan. Sikap ini yang disebut sebagai cognitive dissonance (Philipp-Muller et al., 2022). Akan sulit untuk mengoreksi kesalahan tersebut, terlebih pada masa kini di mana informasi yang salah dapat menyebar luas melalui media sosial dan orang-orang lebih percaya dengan media sosial.
Keempat, kesalahan dalam memberikan informasi dan edukasi. Diperlukan pendekatan yang sesuai dengan cara seseorang menerima informasi. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat pendidikan, misalnya bagi masyarakat yang berpendidikan rendah, ketika memberikan edukasi harus menggunakan bahasa sederhana agar mudah dipahami.
Selain keempat hal tersebut, faktor politik juga memengaruhi sikap antisains ini. Penolakan terhadap fakta ilmiah oleh anggota politik biasanya didasari oleh suatu motif. Faktor politik dapat membentuk bagaimana pandangan masyarakat terhadap ilmuwan. Contohnya pencekalan terhadap peneliti asing yang sedang meneliti di Indonesia atau sulitnya menjadi akademisi di Indonesia karena terbentur aturan administrasi. Hal ini yang disebut contemporary antiscience policy yang mana sebuah usaha yang dikoordinasi pemerintah untuk mengurangi peran negara dalam mendanai penelitian yang dianggap tidak memiliki kepentingan, nasihat ilmiah dalam membuat keputusan, peran bukti ilmiah dan lembaga dalam mengatur aktivitas industri, dan sains dalam ruang publik (Szabados, 2019).
Fenomena ini harus menjadi perhatian serius dalam membangun masyarakat yang cerdas dan berkelanjutan. Karena dampak dari antisains ini sangat luas dan mendalam. Seperti keterbelakangan teknologi yang menghambat kemajuan ekonomi dan sosial, krisis lingkungan karena kurangnya kesadaran akan perlindungan lingkungan, dan kesehatan masyarakat yang menurun karena banyak yang percaya akan pengobatan alternatif yang belum terbukti ekeftivitas dan keamanannya. Ada beberapa hal yang harus dilakukan untuk mengantisipasi fenomena antisains ini, antara lain:
- Ilmuwan harus meningkatkan kredibilitas mereka dan mengkomunikasikan bahwa perbedaan pendapat antar ilmuwan adalah hal yang lumrah.
- Edukasi kepada masyarakat dengan bahasa yang sederhana dan disesuaikan sengan budaya sehingga informasi dapat diterima, dipahami, dan tidak ada kesalahpahaman.
- Penguatan kurikulum pendidikan untuk mengakomodasi keterampilan berpikir kritis dan analitis, serta pemerataan pendidikan.
- Mempromosikan budaya sains sebagai bagian penting dari kemajuan suatu bangsa.
- Membangun kolaborasi dan kemitraan antara pemerintah, industri, dan akademisi untuk meningkatkan transfer penegtahuan dan inovasi. Perlu diingat bahwa fenomena antisains perlu tindakan konkret dari berbagai pihak, khususnya pemerintah sebagai pemangku kebijakan.
Referensi:
Hotez, P. J. (2020). Combating antiscience: Are we preparing for the 2020s? In PLoS Biology (Vol. 18, Issue 3). Public Library of Science. https://doi.org/10.1371/journal.pbio.3000683
Philipp-Muller, A., Lee, S. W. S., & Petty, R. E. (2022). Why are people antiscience, and what can we do about it? The Proceeding of the National of Sciences, 119(30), 1–10. https://doi.org/10.1073/pnas.2120755119/-/DCSupplemental
Szabados, K. (2019). Can We Win the War on Science? Understanding the Link between Political Populism and Anti-Science Politics. Populism, 2(2), 207–236. https://doi.org/10.1163/25888072-02021028