Surabaya mencekam. Teror bom di 3 gereja pada hari Minggu 13 Mei 2018 yang lalu, dan berlanjut ke Sidoarjo kemudian Mapolres Surabaya keesokan harinya sungguh di luar kemanusiaan kita. Total korban jiwa 28 orang, 57 orang luka-luka.
Banyak yang mengalami cidera luka bakar hingga 90%. Penjahat ini bahkan menggunakan anak-anak dengan bom pipa yang diikatkan di pinggangnya. Anak-anak di bawah umur, yang bahkan belum cukup umur untuk menonton film Avenger Infinity War (PG-13) dikorbankan dengan iming-iming surga. Pelakunya orang tuanya sendiri. Sungguh kebiadaban yang tiada taranya.
Waktu kita mengetahui tentang kejadian itu, sesaat kita merasa gentar, kita berusaha berkomunikasi dengan keluarga untuk memastikan mereka aman. Lalu kita merasa marah. Kita marah karena kita dizolimi.
Kita marah karena kita diperlakukan seperti binatang oleh para teroris itu, seakan-akan nyawa jadi tidak penting. Melenyapkan nyawa orang untuk mendapatkan surga bagi diri sendiri adalah tindakan yang SUPER SELFISH, sangat amat EGOIS tak terkira, terlebih lagi apabila mempercayai bahwa orang kafir yang dibunuh itu pasti masuk neraka.
Kita ingin balas dendam. Kita ingin membalas teror bom itu. Banyak yang menuliskan di sosial media bahwa teroris itu harus di hukum seberat-beratnya, harus dihabisi, bahkan dihukum pancung. Sebagian menuliskan kata-kata kasar dan kotor yang tidak layak diucapkan, tapi tetap ditulis juga saking bencinya, untuk membalaskan rasa dendam dan amarah yang tertumpuk di dada.
Buat saudara-saudari sebangsa dan setanah air, Indonesia tercinta dengan Bhinneka Tunggal Ika yang merasakan hal yang sama, saya punya ide untuk membalaskan teror bom yang telah terjadi. Tetapi sebelumnya, ijinkanlah saya menceritakan sedikit apa yang pernah saya alami lebih dari 20 tahun yang lalu.
Masukkan Bola Sebanyak-banyaknya!
Saat itu saya masih duduk di bangku SMP kelas 1 di sebuah sekolah swasta di Bandung. Hari Sabtu itu kami akan bertanding basket melawan SMP lain. Sebuah pertandingan persahabatan di sore hari yang cerah.
Tim kami, sebut saja tim Rohan akan melawan tim Mordor sore itu. Waktu kami bertemu dengan lawan kami, tim kami cukup gentar juga, karena lawan kami mempunyai perawakan yang tinggi-tinggi, rata-rata 180 cm.
Sedangkan kami, terutama saya yang baru kelas 1 SMP masih pendek-pendek, beda 1 kepala dengan mereka. Hanya ada 1 teman kami yang tinggi dan besar badannya setara dengan tim lawan, namanya Donny.
Sekalipun kalah fisik, tim kami bermain dengan semangat tinggi. Angka demi angka kami cetak di keranjang lawan. Tim Rohan dan tim Mordor sama-sama saling susul-menyusul dalam perolehan angka. Kadang tim Mordor unggul, tetapi kami susul kembali, demikian terus-menerus hingga babak akhir dimulai.