Lihat ke Halaman Asli

Ngabuburit A la Maniak Mancing di Jatiluhur

Diperbarui: 26 Juni 2015   02:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ngabuburit adalah istilah Sunda yang sangat populer di bulan Ramadhan dan artinya kurang-lebih 'segala aktivitas yang dilakukan untuk mengisi waktu menjelang berbuka puasa'. Ada banyak cara untuk ngabuburit ini, bisa berupa jalan-jalan ke mal,mengaji di masjid, dan ada juga yang mengisinya dengan memancing. Ide ngabuburit dengan memancing berawal dari keinginan teman yang hoby banget alias 'maniak' memancing. Kami sepakat untuk memancing di Waduk Jatiluhur yang terletak di Kecamatan Jatiluhur Kabupaten Purwakarta. Perjalanan di mulai jam 10 pagi dari jalan Tol Pasteur menuju Tol Jatiluhur. Sesampainya di gerbang keluar kami dikenai retribusi tol sebesar Rp 21,000 lalu kami  menyusuri jalan Ir H. Djuanda. Sekitar 10 km kemudian terdapat pertigaan tempat papan penunjuk arah yang tertera keterangan lokasi Waduk Jatiluhur di arah kiri 2 km lagi. Pepohonan besar dan rindang yang tumbuh di sepanjang jalan menghantar kesejukan saat mobil yang kami tumpangi melintasi area itu dengan kecepatan 80-100 km per jam. Dua jam kemudian, sekitar jam 12 siang, kami mencapai gerbang obyek wisata Jatiluhur. Di gerbang masuk objek wisata kami disambut oleh petugas tiket yang sangat ramah, yaitu Subekti dan Roni serta seorang anggota Satpam  bernama Agus. Daftar harga tanda masuk per orang Rp 5,000-9,000; kendaraan golongan I (jeep, sedang, pick up, mini bus) Rp 10,000; dan golongan II (bus, truck) Rp. 20.000. Bagi pengunjung yang baru pertama kali singgah ke objek wisata Jatiluhur, sebaiknya berkonsultasi dengan bagian informasi yang kantornya terletak sekitar 10 m sebelum  gerbang. Di bagian informasi ini kami bertemu dengan Lintang, seorang gadis cantik, yang dengan ramah menjelaskan secara terperinci berbagai fasilitas di area Jatiluhur. Ada hotel dan bungalow yang bisa dipesan bila hendak menginap di situ, restoran, tempat karaoke, swimming pool, serta penyewaan kapal pesiar juga tersedia. Jarak gerbang ke tempat pemancingan sekitar 2 km. Di sisi kanan jalan berderet warung-warung makanan dan minuman yang tampak sepi di bulan Ramadhan ini, bahkan sebagian di antaranya tutup. Sementara di sebelah kiri terlihat hamparan  danau Jatiluhurbegitu luasnya dengan tepian yang dipenuhi berbagai payung aneka warna, tempat berteduh para pemancing yang sedang asyik menunggu umpan kailnya disambar ikan. Cuaca yang sangat panas tidak mengendorkan semangat, para pemancing itu dengan sabar menanti saat-saat tali kailnya bergerak pertanda ada ikan yang tertangkap. Salah satu pemancing adalah Surya (58), seorang pensiunan PNS yang berasal dari Purwakarta. Dia hampir setiap hari datang ke Waduk Jatiluhur ini hanya untuk memancing dari sekitar jam 10 pagi sampai menjelang Magrib, bahkan di bulan Ramadhan seperti sekarang dia tetap setia memancing dengan alasan ngabuburit. Maklum selain merupakan hobi, memancing juga membuat waktu terasa cepat berlalu. Menurut Surya, ada tiga jenis  ikan di Waduk Jatiluhur, yaitu Nila, Oscar, dan Gosom. Adapun jenis umpan yang digunakan berupa racikan berbahan dasar ikan tongkol. Dalam tempo dua jam dengan menggunakan lima joran yang diletakkan di papan penyangga, Surya berhasil menangkap tiga ekor ikan Oscar kuning sebesar telapak tangan dan dua ekor Gosom sebesar ibu jari,"Lumayan." Katanya sembari tertawa tanpa perduli wajahnya menghitam disengat panas matahari.

Lain halnya dengan Yayat (40) yang berasal dari Purwakarta, dia sengaja datang ke Waduk Jatiluhur setiap Sabtu-Minggu karena pabrik tempatnya bekerja memang libur di akhir pekan. Dengan jaket yang menutupi seluruh badan sampai kepalanya, Yayat meletakan tiga alat pancing yang sepanjang 3 m ditancapkan pada papan penyangga dengan umpan berupa lumut. Tiga jam memancing,dia memperoleh lima ekor Nila merah sebesar telapak tangan. Seperti Surya, dia memang suka memancing sekaligus memanfaat kegiatan itu untuk ngabuburit. Sementara itu Sadar yang berasal dari Cikawo datang ke Waduk Jatiluhur ditemani istrinya Suratmi dan putrinya Lia (2). Dengan sabar mereka menunggui sang ayah di sebuah saung yang terlatak di bawah pepohonan rindang. Sesekali Lia berlari menghampiri ayahnya di tepi danau. Pengunjung pun bisa memilih memancing di kolam komersial yang berada di tengah danau yang untuk mencapainya harus menggunakan perahu yang berderet di pinggir danau. Tarif kapal tradisional bervariasi dari mulai Rp 100,000 - 150.000 untuk satu perahu dengan kapasitas 10-15 orang, kapal Patin mengenakan ongkos sewa Rp 150,000 untuk perahu berkapasitas 15 penumpang, dan Kapal Jambal yang berkapasitas 30 orang memungut sewa Rp 300,000. Seusai memancing, sebelum pulang ke Bandung pengunjung dapat melihat-lihat bendungan utama yang diberi nama Bendungan Utama Ir. H Djuanda. Pembangunan bendungan itu memakan waktu 10 tahun (1957-1967) dengan panjang 1,200 m dan ketinggian  114,5 m. Dari sana  kita bisa merasakan semilir angin yang sangat sejuk dan melihat pemandangan yang luar biasa indahnya ke arah Waduk Jatiluhur. Entah berapa desa yang harus ditenggelamkan untuk membangun bendungan sebesar ini dan berapa milyar biaya yang dikeluarkan. Semoga bendungan ini akan tetap terjaga dan tetap berguna bagi kesejahteraan masyarakat di sekitarnya serta menjadi surga bagi para pemancing. Amin.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline