Lihat ke Halaman Asli

Kisah Keberanian Ibu Mila: Merawat Anak Berkebutuhan Khusus dalam Keterbatasan Ekonomi

Diperbarui: 16 Januari 2024   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : Dokumentasi Pribadi

Kehidupan seorang single mom yang berusaha membesarkan seorang anak disabilitas adalah perjalanan yang dipenuhi dengan kepedihan dan ketidakpastian. Ibu mila merupakan seorang single mom karena sang suami telah tutup usia beberapa tahun yang lalu. Ia tinggal didaerah Soreang,Jawa barat. Ibu mila yang masih berusia 41tahun harus menanggung beban yang begitu besar. Ia harus hidup dengan penuh rasa tanggung jawab atas anaknya yang istimewa. Ia bekerja sebagai buruh bersih-bersih di rumah tetangga dengan upah yang tidak cukup besar bahkan bisa dibilang kecil, yaitu sekitar 30rb dalam sehari. "... yaa paling dikasih 30ribuan lah sehari" ujar bu Mila. Ibu Mila memiliki 2 orang anak, yaitu Nizar dan Nazri. 

Nizar, anak pertama yang berusia 14 tahun, menghadapi tantangan besar dengan keterbatasan kakinya yang lumpuh. Namun ia selalu memiliki semangat dalam menjalani setiap hal. Tak kalah hebat dengan anak kedua Bu Mila, yaitu Nazri yang saat ini masih berusia 6tahun meskipun bisa dibilang masih kecil, namun ia memiliki sikap kedewasaan karena ia selalu bisa mengayomi semua keterbatasan yang dimiliki oleh sang kakak

Dalam kesehariannya, Ibu Mila tidak hanya harus menghadapi keterbatasan ekonomi, tetapi juga menanggung beban emosional yang begitu berat. Dari pagi hingga malam, ibu Mila bangun untuk memenuhi kebutuhan anaknya yang membutuhkan perawatan ekstra. Namun, di sisi lain, kantong yang tipis menjadi penghalang besar. Ia seringkali harus memilih antara membeli obat atau memberi makan anaknya. ".. ya karena penghasilannya sedikit jadi ya kadang bingung kalo beli obat gaada buat makan, ada buat makan gaada buat beli obat" ujar Bu Mila. 

Kekurangan finansial tidak hanya membatasi kebutuhan sehari-hari, tetapi juga merenggut hak dasar kesehatan anaknya. Apapun ia lakukan demi bisa menghidupi dirinya dan juga anaknya. Dari mulai membantu membereskan rumah sampai menjual barang-barang yang ia miliki.

Rumah yang sempit dan usang menjadi saksi bisu dari perjuangan sehari-hari. Tanpa dukungan finansial yang memadai, Ibu Mila berjuang sendirian untuk memberikan kehangatan dan kenyamanan kepada anak disabilitasnya. Terkadang, cahaya mati lampu menjadi pengingat pahit akan ketidakstabilan ekonomi yang menghantuinya.

Pertemuan dengan dokter dan terapis adalah kemewahan yang sering dilupakan. Ibu Mila harus memutar otak mencari solusi kreatif untuk memenuhi kebutuhan medis anaknya. Namun, setiap langkahnya dihadang oleh kenyataan bahwa akses terhadap perawatan kesehatan yang layak adalah sesuatu yang tak terjangkau.

Sosial ekonomi yang rendah bukan hanya menjadi penghalang bagi kelangsungan kehidupan sehari-hari, tetapi juga memicu isolasi sosial yang mengguncang dasar-dasar kemanusiaan. Ibu dengan keterbatasan finansial sering kali terjebak dalam perjuangan sendirian, terasing dari jaringan sosial yang seharusnya menjadi pelipur lara dan tempat berbagi.

Keterbatasan ekonomi bukan hanya tentang mencukupi kebutuhan materi, melainkan juga mengenai kehilangan akses terhadap kehidupan sosial yang normal. Pertemuan dengan teman-teman sejawat menjadi kemewahan yang sulit dicapai, karena keterbatasan finansial seringkali memaksa ibu ini untuk menarik diri dari aktivitas sosial. Akibatnya, jaringan sosialnya menyusut, meninggalkan ruang kosong yang sulit diisi.

Ibu Mila, dalam perjuangan sehari-harinya, mungkin merasa terasing dan terpinggirkan. Rasa bersalah atau rasa malu mungkin muncul, memperkuat dinding isolasi yang mengelilinginya. Pandangan masyarakat yang kurang empati hanya menambah beban psikologisnya. Sorotan yang kurang pengertian dapat menciptakan perasaan tidak diinginkan dan merendahkan martabatnya.

Dalam kenyataan yang pahit ini, Ibu Mila yang membesarkan anak disabilitas harus mengendalikan lautan kesepian dan stigma sosial. Meskipun berkembangnya teknologi memungkinkan terhubung secara virtual, tetapi interaksi sosial yang nyata tetap menjadi kebutuhan manusiawi yang tak tergantikan. Rasa terasing ini bisa menjadi penghalang yang kuat dalam pencarian dukungan dan pemahaman.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline