Dewasa ini, umat manusia sering dilanda keresahan. Penyebabnya bukan karena ancaman globalisasi ataupun sumber daya alam yang semakin berkurang, bukan pula karena maraknya tragedi kekejaman umat manusia dalam menindas sesamanya yang dianggap berbeda. Tapi lebih dari itu, yaitu karena tak sedikit dari mereka yang tidak punya pasangan alias JOMBLO.
Ya, jomblo merupakan sebuah penindasan model baru di zaman ini, yang para filsuf kontemporer menyebutnya dengan nama “zaman posmodern”. Bila dulu kita mengenal adanya penindasan kaum borjuis terhadap kaum proletar, penindasan kaum laki-laki terhadap kaum perempuan, serta penindasan bangsa kolonial terhadap bangsa terjajah, kini muncullah sebuah bentuk penindasan baru terhadap kaum jomblo.
Penindasan terhadap kaum jomblo umumnya dilakukan oleh mereka yang merasa dirinya bagian dari kaum-bukan-jomblo. Kaum-bukan-jomblo, yang status sosialnya dianggap lebih tinggi, menindas kaum jomblo dengan cara yang sungguh kejam. Mereka biasanya datang kepada kaum jomblo dengan membawa pasangan mereka, mengenalkannya sembari mengatakan, “kenalkan ini pacarku, mana pacarmu?”.
Kaum jomblo yang karena statusnya tidak punya pacar, hanya bisa diam bergeming tak memberikan respon apapun sembari menahan rasa sakit akibat luka di hati mereka. Tak jarang, rasa sakit yang tak tertahankan bisa berujung pada tindakan nekat yaitu menghabisi nyawa sendiri. Ironisnya, tak ada sikap tegas dari para penegak hukum dalam menyikapi hal ini. Mereka tidak menghukum penindas sekaligus pelaku yang tak lain adalah kaum-bukan-jomblo dengan hukuman yang pantas, justru memberikan sebuah legitimasi hukum kepada mereka untuk terus melakukan tindakan yang keji itu.
Selain cara di atas, penindasan terhadap para jomblo juga bisa hadir dalam bentuk lain. Tapi dampaknya tetap sama: terbunuhnya harga diri kaum jomblo sebagai manusia yang terlanjur diberi label negatif sebagai kaum yang payah, tidak laku, tidak pandai bergaul, memiliki wajah pas-pasan, dan triliunan label negatif lainnya. Kalau sudah menyangkut harga diri seperti ini, sudah selayaknya kaum jomblo bersatu dan melawan.
Tapi pertanyaan yang kemudian muncul adalah, beranikah kaum jomblo, sebagai kaum minoritas tertindas, melawan penindasan tersebut? Tentunya hal yang paling penting adalah tekad untuk melawan itu sendiri. Masalahnya, kecenderungan yang ada pada diri kaum jomblo selama ini adalah menerima nasib begitu saja sebagai seorang jomblo. Bahkan tak sedikit dari mereka justru melegitimasi status mereka sebagai obyek penindasan dari kaum-bukan-jomblo.
Perumpamaannya, bila Marx meyakini bahwa kaum borjuis memanfaatkan agama sebagai candu untuk melemahkan kaum proletar, maka dalam kasus ini kaum-bukan-jomblo menciptakan istilah “baper” yang digunakan sebagai candu untuk melemahkan perlawanan para kaum jomblo. Karena istilah “baper”, para kaum jomblo rela menghabiskan waktu selama berjam-jam mencurahkan segala isi hati mengenai nasib mereka kepada; rintik hujan, deburan ombak, hembusan angin, butiran debu, rumput yang bergoyang, dan hal lain yang diyakini bisa menjadi tempat untuk mencurahkan ke-baper-an mereka.
Bila seorang jomblo taat dan rutin dalam menjalankan ritual “baper” tersebut, maka dia akan menyandang gelar sebagai seorang “jones”. Istilah “jones” pada awalnya digunakan sebagai nama seorang bintang klub sepak bola Manchester United yaitu Phil Jones, dan juga mantan kiper Liverpool berkebangsaan Australia yaitu Bradley Jones. Bila diamati sepintas, kedua penggunaan istilah itu memang tidak saling berhubungan. Namun bila dikaji secara lebih mendalam, ketenaran Phil Jones dan juga Bradley Jones turut berdampak pada terciptanya istilah “jones” yang mengalami penyesuaian makna dan kemudian digunakan untuk konteks ruang dan waktu yang berbeda.
Dalam konteks relasi kuasa antara kaum jomblo dan kaum-bukan-jomblo, orang-orang yang mendapat gelar “jones” bisa dikatakan sebagai para pemimpin bagi kaum jomblo sekaligus sebagai badut penghibur bagi kaum-bukan-jomblo. Mereka cukup pandai dan kreatif dalam mengajarkan dogma “baper” di kalangan kaum jomblo, sebagai contoh, mengajarkan tata cara mencurahkan isi hati pada rumput yang bergoyang dengan benar. Namun di sisi lain hal ini menjadi hiburan tersendiri bagi kalangan kaum-bukan-jomblo. Mereka, tanpa rasa berdosa, justru menertawai segala hal yang dilakukan orang-orang “jones” tersebut.
Oleh karena itu, kita, entah dari kaum jomblo ataupun kaum-bukan-jomblo ataupun bukan dua-duanya, perlu meyakinkan kaum jomblo bahwa dogma “baper” yang selama ini mereka yakini tak lebih dari sesuatu yang diciptakan oleh kaum-bukan-jomblo untuk mengukuhkan kekuasaan mereka. Usaha memberi keyakinan ini bertujuan untuk menyadarkan kaum jomblo bahwa mereka selama ini ditindas, dan oleh karenanya, mereka harus berani melawan.
Perlawanan kaum jomblo terhadap kaum-tidak-jomblo tentunya harus segera dimulai, agar kesetaraan diantara mereka segera terwujud. Para aktivis kaum jomblo harus berani bergerak. Mereka harus bisa mengumpulkan massa, memberikan roti dan baju gratis pada massa, mengadakan long marchdari bundaran HI, melewati Monas, dan kemudian berakhir di depan Istana Negara. Di sana kobarkanlah semangat perlawanan dengan kata-kata membara, “Mari rapatkan barisan, mari satukan pikiran, hapus penindasan terhadap kaum jomblo, hapus malam minggu, saatnya kaum jomblo bersatu!”