Korupsi merupakan salah satu persoalan mendasar yang merusak tata kelola pemerintahan dan kehidupan masyarakat di Indonesia. Fenomena ini tidak hanya melibatkan penyalahgunaan kekuasaan untuk keuntungan pribadi, tetapi juga menciptakan kerugian sistemik terhadap pembangunan, keadilan, dan kepercayaan publik. Dalam konteks akademis, teori Edwin Sutherland tentang Differential Association memberikan landasan yang relevan untuk memahami bagaimana perilaku korupsi muncul, dipelajari, dan diwariskan dalam lingkungan sosial tertentu. Teori Sutherland menyatakan bahwa kriminalitas adalah perilaku yang dipelajari melalui interaksi sosial, khususnya dalam hubungan dekat yang intim. Dalam kejahatan korupsi, interaksi ini sering ditemukan dalam lingkungan kerja, jaringan politik, atau komunitas sosial yang permisif terhadap pelanggaran hukum. Korupsi bukan sekadar masalah individu, tetapi hasil dari pembelajaran dan normalisasi perilaku menyimpang dalam sistem yang korup.
Pendekatan ini sangat relevan di Indonesia, di mana budaya patronase dan lemahnya penegakan hukum sering kali menciptakan ekosistem yang mendukung perilaku koruptif. Dengan menganalisis korupsi melalui kerangka Differential Association, kita dapat menggali lebih dalam mengenai mekanisme sosial yang melanggengkan korupsi, sekaligus mencari solusi untuk mencegah dan mengatasinya. Tulisan ini akan menjawab pertanyaan mendasar mengenai apa teori ini, mengapa relevan untuk fenomena korupsi di Indonesia, dan bagaimana teori ini dapat diterapkan untuk memahami serta mengatasi korupsi di tingkat praktis dan kebijakan.
What
Apa Itu Teori konsep white-collar crime?
Edwin Sutherland, seorang kriminolog ternama, memperkenalkan teori Differential Association pada 1939 dalam bukunya Principles of Criminology. Teori ini merupakan salah satu pendekatan sosiologis pertama yang menjelaskan bahwa perilaku kriminal bukanlah bawaan atau produk psikologis semata, melainkan sesuatu yang dipelajari melalui proses interaksi sosial. Fokus teori ini adalah bagaimana hubungan dan komunikasi seseorang dengan kelompok sosial memengaruhi kecenderungan mereka untuk melakukan kejahatan. Konsep white-collar crime diperkenalkan oleh Edwin Sutherland pada 1939, yang mendefinisikannya sebagai kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang memiliki status sosial-ekonomi tinggi dalam lingkup pekerjaan profesionalnya. Teori ini bertujuan untuk mengubah perspektif masyarakat dan akademisi, yang sebelumnya lebih fokus pada kejahatan jalanan (street crimes), seperti pencurian atau kekerasan, dengan mengabaikan dampak kejahatan kerah putih yang sering kali lebih besar.
Definisi dan Karakteristik
Sutherland menjelaskan bahwa white-collar crime memiliki beberapa karakteristik:
Pelaku Berstatus Tinggi: Kejahatan dilakukan oleh orang-orang dengan posisi sosial dan ekonomi yang tinggi, seperti pejabat publik, pengusaha, atau profesional.
Non-Violent Crime: Tidak menggunakan kekerasan fisik, tetapi lebih mengandalkan manipulasi sistem, seperti dalam akuntansi, hukum, atau teknologi.