Lihat ke Halaman Asli

Belajar dari Cara Hidup Masyarakat Perth

Diperbarui: 7 April 2017   10:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Belajar dari Cara Hidup Masyarakat Perth

“Bang tanggal 30 ada waktu kosong gak, kita liburan ke Perth, bang Harapan ada disana.”
Ayah tiba-tiba mengirim WA kepadaku yang kubalas dalam waktu relatif lama. Setelah berpikir dan mempertimbangkan dengan panjang aku meng-iyakan.
Singkat cerita tanggal 30 Maret terbang lah kami menuju Perth namun harus kehilangan 1 hari karena menginap di medan akibat pesawat yang delay.
Beberapa hal aku syukuri ketika tiba di Perth, selain keindahan kotanya. Banyak hal lain yang bisa kita ambil pelajaran darinya. Perth terletak di bagian barat Australia. Kota itu berada di bersisian dengan laut sehingga sungai dan laut bukan pemandangan yang asing disini. Begitu tiba aku disambut oleh bang Harapan, guruku sekaligus panutanku yang sedang menamatkan sekolah Doktoralnya. Kami keluar menuju mobil lalu membayar parkir. Namun tidak ada petugas parkir disini. Parkir kita bayar otomatis melalui mesin. Sebuah anomali dimana banyak hal di kota ini kita dapatkan tanpa perlu bantuan manusia. Jika di negara kita (baca: indonesia) orang-orang banyak yang pengangguran sehingga harus membuka lapangan kerja sebesar-besarnya, di Perth justru banyak hal hanya mengandalkan mesin otomatis. Satu hal dimana kita harus berterima kasih dengan sistem KB yang berjalan baik.
Di jalan aku melihat jumlah kendaraan saat itu sangat minim, memang sudah pukul 02.00 (satuan waktu Australia) dini hari dan hal tersebut dapat dibilang maklum. Namun siang hari pun kendaraan tidak terlalu padat. Tidak ada orang yang melanggar lampu merah jika jalan sepi.
Kami tiba di hotel Season of Perth lalu merebahkan disana untuk istirahat.
Esok adalah hari yang indah. Kami pergi ke sebuah pulau yang bernama Rodness Island. Pulau ini terletak di barat Australia dan hanya mebutuhkan waktu 25 meit dengan kapal cepat. Ibarat Aceh dengan pulau Wehnya, maka Perth dengan Rodness Island nya. Sepanjang perjalanan kita tidak dibuat bosan dengan tayangan televisi tentang wisata di Rodness Island.
Rodness Island sangat indah. Namun pulau-pulau di Indonesia lebih indah. Jika kita dapat membangun aset pariwisata dengan baik di kota Indonesia tentu Rodness Island bukan tandingan bagi pulau-pulau kita.
Ada yang menarik di Rodness Island. Setelah menyewa sepeda seharga 30 dollar selama 6 jam lalu mengitari pulau dengan hamparan pemandangan yang indah, kita dapat melihat koaka. Apa itu koaka? Silahkan membuka google. Binatang yang masih keluarga tikus namun berbadan kanguru ini dapat kamu jumpai dimanapun di pulau ini. Menjadi suatu daya tarik tersendiri bagi wisatawan.
Bersepeda mengelilingi pulau selama 3 jam dengan jalan beraspal yang menanjak lalu turun. Kami merasakan ini adalah sebuah aspek yang bisa kita aplikasikan untuk pulau-pulau di negara kita. Sebuah implementasi dari gaya hidup yang sehat.
Setelah berlelah bersepeda kami makan siang dan minum kopi. Aku memesan Chai Latte, kopi yang nantinya selalu menjadi favoritku di kota Perth. Sebuah minuman berbahan ginger yang nikmat.
Ada beberapa hal yang aku pelajari dari orang sini. Bahwa pola hidup sehat akan membawa kepada pikiran yang sehat dan produktif. Merokok contohnya. Sangat sedikit orang di pulau ini yang merokok, mereka menggantinya dengan meminum kopi sambil menikmati pemandangan. Jikalau jam makan tiba,s emua berbondong-bondong menuju restoran dan cafe menikmati menu dan mengisi energi, lalu lanjut ke rutinitas masing-masing. Mungkin benar apa kata orang “Time is money.” Kalimat yang benar-benar teraplikasikan disini, namun di Indonesia, “time is wasting.”
Selain Rodness Island ada beberapa tempat lain yang menarik untuk dikunjungi. Sebuah taman di tengah kota yang terdiri dari padang rumput yang luas dan pemandangan langsung ke sungai yang berdampingan dengan lalu lintas yang di bangun dengan indah di kota ini.
Kata Bang Harapan guruku itu, “Apa lagi yang kita cari di kota ini.” Maksud dari kalimatnya adalah semua tersedia disini apa yang kita inginkan dalam hidup mengalir lengkap, tidak perlu mencari kemana-mana.
Benar apa kata orang, peradaban Indonesia dibandingkan dengan Eropa, Australia, dan Amerika, tertinggal 100 tahun. Pembangunan infrastruktur dengan cepat tidak akan membuat Indonesia mengejar ketertinggalan itu. Revolusi pikiran lah yang mengubahnya. Harus ada dari perubahan psikologis tiap-tiap orang dengan optimal.
Di Indonesia orang menghabiskan hidup dengan kesia-siaan, mulai dari nongkrong, merokok, alkohol, bahkan narkoba. Banyak yang belum mengerti bahwa hidup sehat dan produktif lebih baik dari itu semua. Seorang teman asal Aceh yang saya temui disipni, dia telah membeli rumah sendiri dan punya 3 mobil. Bagaimana dia bisa? Karena dia mencontoh perilaku hidup orang-orang disini.
Dulu Islam jadi panutan karena keteraturannya, namun kita semua yang membuat Islam kini tertinggal.
Remember. “Change in world at your hands”

Muhammad Shanan Asyi, dr
Author of : Diari Sang Juara
Kamar kecil, jalan Taqwa, kota tenang, Banda Aceh

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline