Lihat ke Halaman Asli

Syamsudin

Pencari Ilmu

Sejarah Islam Pasca Peristiwa Tahkim (1)

Diperbarui: 1 Juli 2024   08:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tulisan ini merupakan resume dari Meluruskan Sejarah Islam Studi Kritis Peristiwa Tahkim karya Dr. Muhammad Mahzum (judul asli Tahqiq Mawaqif Ash Shahabah fil Fitnah, alih Bahasa oleh Drs. Rosihon Anwar, M.Ag.), CV Pustaka Setia, cet. 1, 1999. Temukan resume ini di Medium.com dan Blogger.com

Karya ini merupakan upaya memahami kembali sejarah Islam pasca terbunuhnya khalifah ketiga, Utsman bin Affan (w. 35 H). Sebagaimana diketahui bahwa kondisi umat Islam setelah wafatnya Utsman terbelah menjadi dua kelompok besar: kelompok yang segera membai’at Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah dan kelompok yang menuntut qisas terhadap orang-orang yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. 

Kelompok kedua ini terdiri dari dua kolompok besar, yaitu kelompok yang berasal dari keluarga Utsman yang diwakili oleh Muawiyah bin Abi Sufyan dan kelompok Thalhah dan Zubair. Buku ini berfokus pada pertentangan antara kelompok pendukung Ali dan kelompok pendukung Mu’awiyah yang berujung pada peristiwa tahkim serta dampak yang ditimbulkannya.


Telah tersebar luas di kalangan kaum muslimin bahwa perselisihan antara Ali dan Mu’awiyah merupakan imbas dari ambisi Mu’awiyah untuk menjadi khalifah. 

Hal ini dikritik oleh penulis dengan menyatakan bahwa berita tersebut tidak benar karena dalam riwayat-riwayat yang sahih dikatakan bahwa Mu’awiyah hanya ingin menuntut qisas para pembunuh Utsman dan bersedia membai’at Ali sebagai khalifah jika qisasnya ditegakkan. Di lain sisi, tuduhan terhadap para pembunuh Utsman yang berasal dari kelompok pendukung Ali masih merupakan hal yang samar (hlm. 150).


Para sahabat sebenarnya telah bersepakat bahwa hukum qisas harus ditegakkan, namun mereka berbeda pendapat tentang kapan waktu pelaksanaannya. Mu’awiyah berpendapat bahwa penegakkan qisas adalah urgent dan lebih utama daripada kewajiban membai’at, sedangkan Ali menangguhkan pelaksanaan qisas untuk menjaga stabilitas mengingat para demonstran yang mengakibatkan terbunuhnya Utsman berasal dari berbagai kabilah. 

Keputusan Ali bukan tanpa sebab, hal ini dikarenakan sikap segera mengqisas pembunuh Utsman dapat kontra produktif sehingga memantik perlawanan dari kabilah asal pembunuh Utsman seperti yang pernah terjadi pada kelompok Thalhah dan Zubair saat mereka menghukum pembunuh Utsman di Basrah (hlm. 149-150).


Perselisihan Ali dan Mu’awiyah memuncak dengan pecahnya perang Shiffin. Tatkala pasukan Mu’awiyah terdesak dan berlindung di perbukitan, saat itu Amr bin Al ‘Ash (panglima perang pasukan Mu’awiyah) mengusulkan kepada Mu’awiyah agar mengutus orang dengan membawa mushaf ke hadapan Ali sebagai ajakan kembali kepada kitab Allah/berdamai (hlm. 26). 

Di kubu Ali, terutama dari golongan Ahlul Qurra,  terdapat dorongan kuat untuk tidak menerima ajakan berdamai karena kemenangan telah mendekat. Ahlul Qurra merupakan istilah untuk orang-orang yang hafal Al Quran (bahkan penulis menambahkan dengan: membaca, menghafal, memahami, merenungkan, dan mengamalkan Al Quran, lihat hlm. 152). 

Adapun Ali bermaksud menerima ajakan damai dari pihak Mu’awiyah karena memang tujuan awal Ali adalah menegakkan stabilitas dan memposisikan kelompok Mu’awiyah sebagai saudara sesama muslim yang penanganan konfliknya berbeda dengan orang kafir. Peristiwa perdamaian ini dikenal dengan istilah tahkim.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline