Lihat ke Halaman Asli

Seandainya Kita Bisa Terbebas dari ''Handphone"

Diperbarui: 3 November 2017   06:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Gizmodo

Efek buruk ponsel tidak lagi bisa diabaikan. Selain dapat mengurangi kesehatan mata, ponsel juga mengikis kondisi psikologis. Namun, kebutuhan akan komunikasi, informasi, dan transportasi online yang cepat membuat kita mengalami dilema tragis.

Sebulan tanpa ponsel bagaikan tersesat ke sebuah gua. Terisolasi, gelap, dan dingin. Saat keluar, kita hanya melongo dan tidak dapat mengimbangi pembicaraan orang, baik saat menggosipkan skandal, polemik, atau prestasi yang diraih bangsa ini.

Penampilan dan kemampuan ponsel juga kian elegan dan canggih. Inovasinya tidak berhenti. Kemajuan ini diikuti dengan munculnya jutaan aplikasi menarik dan game seru yang dikembangkan sedikitnya 12 juta pengembang software mobile di seluruh dunia.

Pada dasarnya, ponsel menjadi jati diri kedua kita. Orang lain dapat mengenal kita dari merek, warna, corak, dan konten yang kita sukai dan simpan di ponsel. Namun, dari kemajuan terbesar peradaban tersebut, tanpa disadari ponsel juga menimbulkan banyak kerugian.

Salah satunya ponsel membunuh dan mengubah kita menjadi mayat hidup. Jasadnya bergerak, tapi jiwanya mangkrak. Matanya di jalan raya, tapi penglihatannya buta. Telinganya di dua sisi, tapi pendengarannya tuli. Kepalanya diam, tapi pikirannya melayang-layang.

Bagi jiwa-jiwa yang mencintai kebebasan, kedamaian, dan ketenangan, ponsel bukan solusi. Pasalnya, semua yang difasilitasi ponsel bersifat fantasi. Nikmatnya berbicara, melihat, mendengar, merasa, mencium, dan menyentuh ada di dunia nyata.

Kita bisa membedakan nikmatnya melepas rindu dengan bertemu tanpa pernah bercakap bertahun-tahun dibanding melepas rindu melalui sambungan telepon. Keindahan perjuangan dan pertemuannya meresap hingga ke dalam kalbu dan terkenang abadi.

Kita bisa membedakan nikmatnya cinta apa adanya karena menyukai suara, senyum, dan tingkahnya yang malu-malu dibanding melalui berbagi foto. Takdir yang sulit ditebak akan menempa hati menjadi dewasa dan bijak dalam menyikapi berbagai kekurangan.

Kita bisa membedakan nikmatnya memberi secara sembunyi, dibanding memberi secara terbuka yang disebarkan di jejaring sosial. Ketertutupan akan mengajarkan kita arti ketulusan dan keikhlasan serta membantu membangun karakter yang mawas diri.

Kita bisa membedakan nikmatnya bermain dan berolahraga di pekarangan rumah, di lapangan, di kebun, di pesawahan, atau di pesisir dibanding bermain video game. Kedekatan dengan teman dan alam akan membuat kita menjadi insan yang kuat dan sehat.

Namun, apalah daya. Dunia sudah berubah. Kemajuan teknologi tetap patut kita syukuri, kekurangannya disabari. Kita hanya perlu mengendalikan penggunaan ponsel sebelum kita balik dikendalikan. Jaga semua pola secara seimbang.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline