Masa remaja adalah periode dalam perkembangan manusia yang ditandai dengan terjadinya masa pubertas. Pubertas adalah masa perkembangan biologis yang menyebabkan adanya perubahan fisik dan hormon. Perubahan fisik yang signifikan pada masa remaja akan memengaruhi persepsi tubuh remaja terhadap diri mereka sendiri. Mereka cenderung merasa lebih gemuk atau tidak puas dengan penampilan fisik mereka sehingga mampu memicu perilaku makan yang tidak sehat atau dikenal sebagai gangguan makan. Nevid (2014) pendapat bahwa bulimia nervosa merupakan salah satu jenis eating disorder atau gangguan makan. Gangguan makan yang ditandai dengan karakteristik makan secara berlebihan dan berulang, kemudian diikuti dengan keinginan untuk memuntahkan makanan, serta perhatian yang berlebihan mengenai berat badan dan bentuk tubuh.
Bulimia nervosa adalah gangguan makan yang ditandai oleh siklus perilaku makan berlebihan dan berulang yang diikuti oleh upaya kompensasi, seperti muntah atau penggunaan laksatif. Seseorang yang menderita bulimia nervosa sering kali mengalami ketidakpuasan terhadap tubuh mereka dan perasaan kurang yang berkelanjutan. Remaja dengan kecenderungan bulimia nervosa ketika merasa lapar mereka sadar bahwa mereka merasa lapar namun ada ketakutan untuk memenuhi kebutuhan makan mereka karena adanya kekhawatiran akan menyebabkan berat badan mereka naik.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi gangguan makan bulimia nervosa yaitu, (1). Faktor sosiokultural, faktor lingkungan yang memberikan stereotip terkait bentuk tubuh yang ideal sehingga memengaruhi persepsi terhadap tubuh sendiri. (2). Faktor biologi, beberapa penelitian menunjukkan bahwa adanya faktor genetik terkait gangguan makan. (3). Faktor psikologi, perfeksionisme, impulsive, obsesif-kompulsif, dan neurotism. (4). Faktor perkembangan, gangguan masa kanak-kanan yang cenderung mengalami kesulitan dalam menerima makanan (Hasna, 2021). Perfeksionisme dapat menjadi salah satu pemicu yang signifikan dalam perkembangan bulimia nervosa.
Menurut Hamachek (Rice, 1998) dibagi menjadi dua yaitu, perfeksionis normal dan perfeksionis neurotik. Perfeksionis normal yaitu dapat menetapkan standar pencapaian mereka dalam batas-batas keterbatasan dan kekuatan mereka. Perfeksionis normal mendapatkan kepuasan dan kenikmatan mendalam dari upaya keras dalam meraih sesuatu. Dalam hal ini tentu peluang kesuksesan dapat diraih. Sedangkan perfeksionisme neurotik yaitu menetapkan standar pencapaian yang lebih tinggi daripada kemampuan yang biasa mereka capai. Sehingga sulit merasa puas karena jarang berhasil dalam melakukan sesuatu. Oleh karena itu mereka memandang bahwa dirinya tidak pantas untuk merasa puas dan adanya perasaan tidak berharga akibat kegagalan dalam mencapai standar yang mereka buat.
Perfeksionisme dianggap sebagai pengaruh dominan terhadap gangguan makan yaitu bulimia nervosa. Kecenderungan menetapkan standar yang tidak realistis dan tidak sesuai dengan kemampuan untuk menurunkan berat badan yang dianggap ideal dan mengkritik diri sendiri ketika tidak bisa mencapai standar tersebut. Perfeksionisme menyebabkan evaluasi diri yang berlebih terhadap bentuk tubuh yang sesuai dengan standar wanita cantik. Dengan demikian membuat seorang yang menderita bulimia nervosa memiliki persepsi untuk memenuhi obsesi langsing tersebut. Biasanya para penderita bulimia nervosa gagal melakukan diet, sehingga sebagai kompensasinya mereka melakukan berbagai cara untuk mengeluarkan makanan yang konsumsi makan dengan memuntahkan dan adanya penggunaan laksatif.
Perilaku kompensasi tersebut dilakukan sebagai upaya untuk menutupi ketidaksempurnaan atas bentuk tubuh yang dimiliki sehingga adanya keterkaitan antara perfeksionisme dengan gangguan makan. Berdasarkan penelitian menunjukkan tingkatan prevalensi gangguan makan tidak hanya terjadi di Amerika Serikat melainkan terjadi juga di Asia. Di Taiwan, terdapat 10,542 penduduknya mengidap gangguan makan bulimia nervosa sejak 2002-2013 (Pike & Dunne, 2015). Ternyata gangguan makan tidak hanya terjadi di luar Asia melainkan terdapat juga kasus gangguan makan di Asia. Di Indonesia sendiri, prevalensi kasus bulimia nervosa belum diketahui secara pasti karena kurangnya penelitian mengenai hal tersebut (Krisnani et al., 2018). Dengan demikian tidak menutup kemungkinan gangguan makan juga terjadi di Indonesia.
Individu yang cenderung perfeksionis sering kali mengalami perasaan kurang terus menerus, yang mendorong mereka untuk mencari mekanisme kompensasi. Bulimia nervosa adalah salah satu bentuk kompensasi yang digunakan oleh individu perfeksionis untuk mengatasi perasaan tersebut.Gangguan makan bulimia nervosa melibatkan pola makan yang tidak terkendali diikuti oleh perilaku kompensasi seperti muntah atau konsumsi berlebihan. Ini dapat memberikan rasa sebentar-sedikit lega dan kontrol bagi individu yang perfeksionis, meskipun hanya sementara. Namun, dalam jangka panjang, bulimia nervosa menyebabkan kerusakan fisik dan emosional yang serius.
Dalam rangka mengatasi masalah ini, penting bagi individu yang mungkin merasa terjebak dalam lingkaran perfeksionisme dan bulimia nervosa untuk mencari dukungan profesional. Terapi kognitif perilaku dan terapi lainnya dapat membantu individu mengatasi perfeksionisme, meningkatkan kesehatan mental, serta mengembangkan mekanisme penanganan yang lebih sehat.
Dosen Pengampu:
1. Prof. Dr. Syamsu Yusuf LN, M.Pd.