Lihat ke Halaman Asli

Wow, Indonesia Masuk 10 Besar Penduduk Paling Dermawan di Dunia!

Diperbarui: 17 Juni 2015   12:15

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Walau pengamen sering menyindir (bahkan mengancam) penumpang bis kota zaman sekarang karena 'kurang berjiwa sosial', ternyata penduduk kita ada di peringkat ke-10 besar paling dermawan di dunia. Ini hasil riset Charities Aid Foundation dari Inggris terhadap warga di 135 negara. Luar biasa, kan?! [caption id="" align="aligncenter" width="445" caption="Sekitar 66% orang Indonesia berdonasi dua kali per bulan"][/caption]

Riset berjudul World Giving Index 2014 ini menunjukkan bahwa setidaknya 66% orang Indonesia yang mereka survei punya perilaku mendonasikan uang paling tidak dua kali dalam sebulan, baik melalui lembaga maupun secara langsung. Kita pun patut bangga karena tidak semua negara yang ekonominya mapan punya penduduk yang dermawan. Dari ke-4 negara BRIC yang jadi ikon kekuatan ekonomi baru (Brazil, Rusia, India, dan Tiongkok), hanya orang dari Negeri Panda yang perilaku berdonasinya tumbuh dari 10% menjadi 13% populasi. Dibanding dengan negara berkembang lainnya, hanya penduduk Indonesia yang terus konsisten memberikan uang bagi orang yang lebih membutuhkan. Lalu penduduk negara mana saja yang lebih dermawan dari kita? Di peringkat ke-1 ada Myanmar, lalu diikuti Malta, dan Thailand. Irlandia, Inggris Raya, Kanada, Islandia, dan Belanda. Di posisi ke-9 ada Amerika Serikat dan di posisi ke-10 kita berbagi tempat dengan Australia. Sebenarnya hasil survei ini bukan hal baru, toh perilaku tolong-menolong sudah jadi bagian dari tradisi lama kita. Dalam berbagai bentuk, kita telah terbiasa 'membiayai' projek-projek sosial secara gotong-royong seperti pembangunan rumah ibadah, perbaikan jalan, atau acara perayaan hari kemerdekaan. Selain itu, sebagian orang Indonesia pun hidup dalam tatanan nilai agama yang kuat, sehingga perilaku berderma yang dianjurkan semua agama, banyak pula kita amalkan. Hanya saja, tak jarang niat baik ini disalahgunakan oleh orang tak jujur. Misalnya pengemis yang ternyata punya pendapatan puluhan juta rupiah tiap bulan atau uang dari kotak amal malah digunakan untuk kepentingan pribadi. Karena itu, orang-orang pun menjadi lebih selektif dalam menyalurkan donasinya. Celah dalam hal kepercayaan ini yang diisi oleh platform crowdfunding atau urun donasi. Sistem yang populer lima tahun belakangan ini--seperti yang dilakukan wujudkan.com atau kitabisa.com--mengonversi tradisi saweran dari kencleng jadi berbasis online. Singkatnya, kalau Kompasianer punya projek sosial untuk membuat perubahan dan butuh dana, platform ini bisa membantu untuk menyebarkannya dan mengumpulkan orang yang mau mendukung niat baik itu. Melalui situsnya pula, pemberi donasi bisa memantau pelaksanaan projek untuk memastikan projek tepat sasaran. Karena bersifat donasi habis pakai, bantuan yang disalurkan dengan cara crowdfunding langsung terserap begitu projeknya selesai. Sehingga jika ada kebutuhan untuk mendukung orang baik dengan projek sosial lainnya, perlu menggalang dana sejumlah tertentu untuk menutupi hal itu. [caption id="attachment_366277" align="aligncenter" width="600" caption="Morsinah, Penjual Jamu di Amerika yang sukses berkat dukungan crowdlending dari Kiva Zip"]

1422357768600404986

[/caption]

Di sisi lain, ada juga pelaku niat baik yang butuh dukungan dalam bentuk selain bantuan habis pakai. Mereka adalah pelaku wirausaha sosial alias social entrepreneur yang memerlukan akses ke pemodalan namun tidak cukup memadai di mata perbankan. Model yang sedang naik daun untuk menjawab permasalahan tadi adalah urun modal alias crowdlending. Pendek kata, pendanaan ini mirip crowdfunding namun bedanya relasi yang tercipta bukanlah pemberi dan penerima donasi, melainkan pemodal dan peminjam. Setelah jangka waktu tertentu, peminjam akan mengembalikan dana yang sudah balik modal untuk diputar lagi jadi kapital bagi wirausaha lainnya. Bentuk pembiayaan dengan ‘pinjaman’ lebih memberdayakan dibandingkan dengan bentuk donasi, karena dengan adanya praktek pengembalian pinjaman, menandakan proyek bisnis sosial tersebut sudah bisa membiayai pengeluaran operasionalnya dan mengembangkan usahanya secara mandiri. Bentuk ‘pinjaman’ juga lebih mendukung keberlanjutan, karena pemilik dana bisa membantu entrepreneur yang lain, ketika pinjamannya telah dikembalikan, tanpa mengeluarkan nominal tambahan. Di Indonesia, GandengTangan sebagai platform crowdlending pertama di Indonesia akan hadir tanggal 1 Februari nanti. Ikuti perkembangan terbarunya dengan follow Twitternya di @gandeng_tangan ya! Nah, Kompasianer sendiri masuk golongan yang mana? Apakah di kelompok 66% yang rutin berdonasi bagi yang membutuhkan atau 34% sisanya? Ayo gabung bersama GandengTangan dan ikut ciptakan perubahan sosial dengan cara baru. *** Laporan lengkapnya World Giving Index 2014 bisa dibaca di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline