Lihat ke Halaman Asli

Patriot Negara

TERVERIFIKASI

warga Indonesia

Aksi Penolakan Kunjungan Wakil Ketua DPR di Manado

Diperbarui: 14 Mei 2017   08:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tanggal 13 Mei 2017 Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah berkunjung ke Manado, ibukota propinsi Sulawesi Utara. Beberapa agenda sudah disiapkan dan dijadwalkan Fahri Hamzah akan kembali ke Jakarta keesokan harinya.

Meskipun demikian kedatangannya di Manado ditolak sejumlah elemen masyarakat yang melakukan aksi di Bandara Samratulangi Manado. Elemen masyarakat yang menolak kedatangannya juga melakukan tarian kabasaran dengan membawa senjata parang panjang. Alasan penolakan yang disampaikan oleh koordinator aksi adalah bahwa ketua DPR ini dikategorikan orang yang tak toleran berangkat dari pernyataannya meskipun tak dirinci pernyataan mana yang dimaksud. Mereka juga mengatakan menolak FPI meskipun mengatakan Muhammadiyah adalah kawannya.

Berita selengkapnya tentang aksi tersebut bisa dibaca di berbagai link yang terncantum dibawah. Singkat kata Fahri Hamzah yang sedianya baru akan pulang keesokan harinya tanggal 14 Mei 2017 memperpendek kunjungannya, bahkan forum diskusi yang direncanakan dibatalkan. Setelah bertemu gubernur di kantor Gubernur, Fahri kembali ke Airport Samratulangi dan kembali ke Jakarta sore harinya.

Meskipun demikian Fahri Hamzah dalam postingan instagramnya mengatakan dirinya tidak ditolak. Mungkin dia tak ingin dikesankan radikal atau intoleran, meskipun fakta nyata di lapangan telah terjadi aksi penolakan. Aksi dimulai dari Bandara dan bahkan dilakukan sampai kantor Gubernur tempat dia melaksanakan pertemuan dengan Gubernur Sulut.

Beberapa waktu lalu juga beredar video pidato gubernur Kalimantan Barat Cornelis yang menolak FPI di wilayahnya dan kalau Habib Riziq datang ke Kalbar agar diusir dari Kalbar. Bahkan Cornelis dalam pidatonya di youtube mengatakan dia siap menjadi provokatornya.

Tindakan Cornelis ini berbuntut panjang. Sekelompok masyarakat Aceh membalas mengusir Cornelis dari Aceh tanggal 7 Mei 2017 ketika datang menghadiri acara Petani Nelayan Nasional di Aceh.

Ketua FPI Ustadz Shabri Lubis yang berkunjung ke Pontianak tanggal 5 Mei 2017 tiba-tiba diminta oleh aparat keamanan yg terdiri atas polisi dan tentara untuk segera kembali ke Jakarta dengan naik pesawat Citilink. Hal ini mengulang hal yang sama ketika Ulama wakil sekjen MUI KH Tengku Zulkarnain juga dipulangkan dengan cara yang hampir sama.

Berbagai kejadian diatas sudah sangat menghawatirkan. Setiap tindakan akan berbuntut tindakan balasan lainnya. Tak dapat disangkal bahwa kejadian pengusiran ini bermula dari beberapa daerah seperti Kalimantan Barat ketika KH Teungku Zulkarnain diusir dari Kalbar.

Setiap warga negara republik Indonesia berhak bergerak dengan bebas dalam wilayah NKRI dan tak mengalami kejadian pengusiran dan penolakan. Tak perlu izin khusus untuk mendatangi dan mengunjungi setiap wilayah negeri ini dan kepolisian harus menjamin bahwa setiap langkah penolakan dan pengusiran adalah pelanggaran hukum dan bisa mengancam NKRI. Aparat keamanan harus menegakkan hukum dan bukan mencari solusi mudah tapi berbahaya dengan memfasilitasi pengusiran dengan alasan apapun.  Mengapa dikatakan solusi mudah dan berbahaya karena nanti akan berbuntut balasan ketika berkunjung ke daerah lain.

Hukum harus dijadikan acuan dan meletakkan hukum diatas segalanya. Jika ada elemen masyarakat menganggap bahwa ada tokoh Islam yang intoleran atau meresahkan masyarakat, masyarakat bisa menempuh jalur hukum dengan menggugatnya ke pengadilan dengan tuduhan intoleran dan disertai permintaan untuk dilarang datang dan berkunjung ke daerah tertentu. Tentu pihak penggugat harus menyertakan bukti cukup bahwa yang bersangkutan intoleran agar malah tidak digugat balik dengan tuduhan fitnah.  Jika gugatan diterima maka silahkan dilakukan pelarangan, tapi jika ditolak maka tak boleh ada pelarangan.

Pihak-pihak non Muslim yang mencoba mengusir tokoh-tokoh Islam harus sadar bahwa lebih dari 85% propinsi di Indonesia itu di dominasi oleh penganut agama Islam yang sangat menghormati para tokoh agama dan ulama. Jika ulama ditolak tanpa alasan yang jelas dan hanya didasarkan oleh prasangka maka apa yang akan terjadi, tindakan pengusiran akan berbalas pengusiran dan penduduk 15% wilayah itu tak akan bisa bergerak kemana-mana karena dikepung oleh wilayah mayoritas Islam.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline