Lihat ke Halaman Asli

Patriot Negara

TERVERIFIKASI

warga Indonesia

Jangan Terlalu Banyak Berharap Dari Pemilu 2014

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sebentar lagi pemilu akan berlangsung, dan para petualang politik sudah sibuk berancang-ancang untuk menebar pesona, baik dengan cara menunjukkan karakteristik diri sebenarnya atau bahkan dengan tega menipu konstituen agar hitam bisa terlihat putih, kebodohan bisa terlihat cemerlang, keraguan bisa terlihat mantap dan tegas, arogansi tampak bagai murah hati, dan keserakahan bagaikan tak punya hasrat dan ambisi.

Banyak harapan dijatuhkan kepada para kandidat capres, baik yang sudah resmi diajukan oleh parpol buat menjadi modal jualan pada pemilu legislatif, ataupun kandidat capres dengan banyak pengusung tapi tak punya tiket untuk masuk ke arena laga.  Ada pula partai yang mengusung beberapa calon sekaligus tanpa peringkat dan prioritas dan seakan menunggu sinyal dari para calon siapa yang mau memberikan mahar capres terbesar.

Meskipun demokrasi sudah mulai memberikan buah manis seperti terpilihnya Jokowi menjadi Gubernur DKI, Ibu Risma sebagai walikota Surabaya, dan Ridwan Kamil sebagai walikota Bandung, sampai sekarang masih banyak buat pahit yang harus ditelan rakyat paska reformasi tahun 1998. Segerombolan penyamun ternyata ikut terselip diantara para anggota dewan di senayan, para gubernur, walikota dan bupati, dan bahkan ketua lembaga yudikatif yang paling prestisius. Belum lagi para penyamun yang duduk di pengurus partai politik dan yang menjadi anggota kabinet, yang nota bene dipilih langsung atau tidak langsung oleh mekanisme demokrasi yang dilakukan oleh rakyat sendiri. Ternyata yang dipilih itu anggota gerombolan siberat yang memakai jas dan pakaian parlente. Betapa mudahnya para gerombolan siberat itu menyamar dan betapa mudahnya rakyat itu ditipu.

Buah reformasi lain adalah tersebarnya kekuasaan ke banyak stakeholder di Indonesia. Murid taman kanak-kanak di Senayan yang dulunya lebih suka duduk manis menunggu titah dari istana atau Bina Graha, kini bagaikan anak tanggung suka berbuat kriminal. Tujuan memberdayakan para penghuni senayan ini agar bisa bersuara keras membela kepentingan para konstituen yang diwakilinya. Alih-alih bersuara keras dan nyaring, tapi malah menciptakan istilah baru dengan istilah apel malang atau apel washington. Penghuni senayan sering sengaja menunda pengesahan APBN bukan untuk mengkritisi item pengeluaran yang tak perlu atau terlalu mahal, tapi menunggu di menit terakhir agar pelaksanaan anggaran tak punya waktu banyak untuk melaksanakan proyek dengan bersih sesuai prosedur. Yang lebih parah adalah penghuni senayan sering meminta anggaran dinaikkan lebih besar karena mereka tak lebih dari calo dan makelar proyek dari para industrialis yang punya banyak kepentingan dengan negeri ini.

Tersebarnya kekuasaan ke banyak stakeholder bertujuan baik agar supaya tidak ada pemusatan kekuasaan di tangan satu orang. Jika satu orang ini rusak maka rusak semua institusi yang ada. Tapi harus diingat bahwa tersebarnya kekuasaan juga berakibat kita membutuhkan banyak orang baik, bersih, dan tulus mau mengabdi buat negeri ini. Seorang Jokowi, Ibu Risma, dan Ridwan Kamil akan menjadi domba-domba kecil yang akan menjadi mangsa dan dikeroyok oleh para serigala ganas di berbagai institusi di Indonesia.

Belajarlah ke Rusia paska runtuhnya Sovyet. Paska runtuhnya Sovyet Rusia bagaikan pemabuk di jalanan kota Moscow dengan sebotok vodka yang sudah kosong. Kekuasaan tersebar di Rusia membuat Boris Yeltsin frustasi dan seringkali memberikan sambutan dalam kondisi pengaruh minuman Keras. Lihatlah sekarang Rusia dengan kekuasaan terpusat dengan presiden Vladimir Putin, yang bahkan bisa membuat Obama salah tingkah dan kehilangan gaya tak berani bertualang lebih jauh di Timur Tengah setelah Rusia dengan tenang mengirimkan beberapa kapal perangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline