Akil Mochtar akhirnya dihukum dengan pidana hukuman seumur hidup. Meskipun dua dari lima hakim menyatakan dissenting opinion, yang pertama menyatakan bahwa jaksa KPK tidak berwenang mengadili TPPU sedangkan hakim dissenting kedua menyatakan dakwaan kabur dan tidak jelas.
Sayang sekali dalam vonis ini tidak dikenakan hukuman denda karena menurut hakim terpidana sudah mendapatkan hukuman badan maksimal yaitu hukuman seumur hidup. Padahal alasan dari dihukumnya Akil Mochtar justru karena terbukti melakukan tindak pidana korupsi dan juga tindak pidana pencucian uang.
Koruptor harus dimiskinkan dengan menyita seluruh hartanya baik dari hasil korupsi dan bukan hasil korupsi. Hanya cara ini bisa membuat koruptor jera. Jika hanya menyita harta hasil korupsi maka korupsi tetap akan dilakukan karena tidak semua harta korupsi bisa diungkapkan oleh KPK. Sisa hasil korupsi yang tak terendus KPK masih sepadan dengan hukuman 4-8 tahun kurungan yang berarti efektif hanya 2-4 tahun dalam penjara.
Tidak disitanya harta hasil korupsi Akil yang terbukti hasil dari uang suap yang diterima Akil seakan menjadi barter hukuman seumur hidup yang dikenakan. Dari sudut pandang kepentingan negara tak ada benefit apa-apa dengan memenjarakan Akil yang sudah renta dengan penjata seumur hidup. Bahkan negara harus menjamin kehidupan Akil selama dalam penjara baik kebutuhan sandang, pangan dan kesehatan yang tentu bukanlah biaya yang tidak sedikit. Akil dalam penjara hanyalah akan menjadi beban bagi negara dan rakyat Indonesia.
Vonis ini berbau semangat membela korps hakim. Cukup memberikan hukuman seumur hidup agar kemarahan publik bisa diredam tapi membiarkan harta hasil korupsinya tetap bisa dinikmati keluarganya.
Dalam persidangan Akil terlihat sangat pongah dan tak memberi kesan sedikitpun rasa bersalah. Berbagai bukti percakapan dan sms yang ditunjukkan sebagai bukti tidak diakui terkait dengan perkara korupsi.
Berbagai bukti percakapan Akil benar-benar membuat publik muak dan marah. Akil adalah ketua Mahkamah Konstitusi mempermainkan hukum dengan cara berhubungan dengan pihak-pihak berperkara dengan cara mengancam membatalkan kemenangan pilkada jika tidak menyetor uang. Bagaimana orang yang berlaku bagai preman pasar ini bisa duduk dalam posisi yang sangat terhormat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi.
Keangkuhan Akil itu bahkan ditunjukkan setelah vonis dengan sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah dan bahkan mengatakan akan banding sampai ke Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H