Lihat ke Halaman Asli

MUHAMMAD ARIS

Muhammad Aris

Tegas! Pemenang Calon Tunggal Pilkada Tidak Diukur dari Tingkat Partisipasi Pemilih

Diperbarui: 8 Agustus 2024   17:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi pertarungan calon tunggal pilkada. f: kontan.co.id

TEGAS dan jelas!, tidak ada satupun regulasi yang mengatur penetapan pemenang pasangan calon tunggal melawan kotak kosong diukur dari tingkat partisipasi pemilih dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota. Pernyataan tegas ini sekaligus menjawab isu kencang yang beredar di publik ditengah perhelatan penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024.

Pernyataan tegas ini disampaikan Titi Anggraini, Dewan Pembina Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) sebagai pembicara melalui webinar pada 4 Agustus 2024, yang dilaksanakan CONSID (The Constitutional Democracy Initiative), sebuah organisasi masyarakat sipil yang peduli terhadap pembangunan demokrasi di Indonesia yang mengusung topik : "Menggugat Fenomena Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024"

Menurut Titi Anggraini, yang juga pengajar Ilmu Kepemiluan pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), menegaskan, itu pemahaman hoaks (tidak dapat dipercaya) jika penetapan pemenang pasang calon tunggal melawan kotak kosong ditentukan dari tingkat partisipasi pemilih. 

"Perlu kita luruskan, pemenang paslon tunggal peserta Pilkada bilamana meraih suara lebih dari 50 persen dari suara sah pemilih, artinya tidak diukur berdasarkan dari tingkat partisipasi pemilih pada suatu pemilihan," tegas Titi Anggraini, sekaligus menjawab pertanyaan dari salahsatu peserta, M. Aris, SH, Ketua Presidium Jaringan Demokrasi Indonesia (JaDi) Kabupaten Batang Hari yang hadir dalam forum webinar tersebut.

Menurut Titi Anggraini, merebaknya pandangan yang tidak bisa dipertanggungjawabkan dimasyarakat saat ini, termasuk di wilayah Kabupaten Batang Hari, Jambi tentang beredarnya pemikiran bahwa jika partisipasi pemilih tidak mencapai 75 persen pada perhelatan paslon tunggal pilkada, maka tidak ada penetapan pemenang. 

"Pemahaman itu tidak benar, tidak ada penetapan pemenang calon tunggal pilkada berdasarkan partisipasi pemilih yang harus terpenuhi minimal 75 persen, karena memang dalam regulasi pilkada tidak diatur, tolong pandangan ini diluruskan," tegas Titi Anggraini.

Para narasumber webinar : Menggugat Fenomena Calon Tunggal Pilkada Serentak 2024. f: CONSID.

Karena itu, kata Titi Anggraini, penetapan pemenang pada perhelatan yang hanya diikuti satu pasangan calon peserta Pilkada wajib merujuk pada ketentuan Pasal 54D ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang tegas menyebutkan, KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota menetapkan pasangan calon terpilih pada Pemilihan satu pasangan calon, jika mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari suara sah. "Jadi tolak ukur pemenang pada Pemilihan satu pasangan calon adalah jika meraih suara lebih dari 50 persen dari suara sah, bukan berdasarkan tingkat (minimal 75 persen) partisipasi pemilih," tegas Titi Anggraini.

Faktor Calon Tunggal.

Ada beberapa faktor munculnya calon tunggal pilkada,  menurut Titi Anggraini, diantaranya; mengamankan kemenangan sejak awal, orientasi menang lebih mudah bertarung dengan partai politik daripada bertaruh dengan suara rakyat,  makin beratnya syarat pencalonan baik dari jalur perseorangan ataupun partai politik, hegemoni kekuatan petahana atau kerabat petahana (dinasti), sentralisasi pencalonan pilkada (mekanisme tiga pintu: rekomendasi pengurus di kabupaten/kota, provinsi dan (wajib) di DPP), mahar politik dalam pencalonan, problem kaderisasi dikelembagaan partai (tidak ada calon potensial untuk diusung akibat kaderisasi beriorentasi pada figur dan segelintir elit, figur potensial justru terpilih di pemilu DPR/DPRD, sehingga enggan maju di Pilkada karena tidak mau mundur dari DPR/DPRD), fenomenal elektabilitas yang terlampaui jauh jaraknya antara satu calon dengan calon lainnya, kondisi internal partai yang tidak solid diperburuk apabila terjadi perpecahan, politik biaya tinggi dalam konstelasi pilkada, mayoritas disebabkan oleh penggunaan dana-dana ilegal, pragmatis partai politik (ketimbang kalah dan keluar banyak uang, lebih baik membangun posisi tawar dengan calon kuat yang sudah ada.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline