Di tengah derasnya arus zaman yang melaju cepat dan menggulung segala tatanan, seringkali terdengar suara-suara yang berbusa-busa, berbisik atau bahkan berteriak lantang bahwa perempuan tak pantas memimpin.
Mereka yang bersuara begitu seolah menancapkan keyakinan bahwa seorang perempuan, yang seharusnya lekat dengan kelembutan dan keteduhan, tak mampu membawa gerbong kehidupan menuju tujuan besar yang memerlukan kekuatan dan ketegasan. Bahwa perempuan, di mata mereka, hanyalah sekadar lokomotif yang akan melamban, yang tak kuasa menerjang derasnya tantangan dunia yang sering kali keras dan tak berbelas kasihan.
Namun, apa yang tersirat dari pernyataan itu? Apakah sesungguhnya wacana yang terbangun dalam keraguan ini bukanlah cerminan dari ketidaktahuan, atau bahkan ketakutan, akan potensi besar yang tertanam dalam diri seorang perempuan?
Mereka yang lahir dan tumbuh dalam naungan kasih sayang seorang ibu, yang dibesarkan dengan sentuhan tangan penuh kehangatan, pasti akan mengerti betapa cekatan dan bijaksananya seorang ibu dalam mengatur perjalanan hidup seorang insan.
Seorang ibu bukan sekadar pengasuh yang menuntun dengan lembut, namun juga seorang pemimpin yang tanpa lelah merenda hari demi hari, membentuk jalan bagi anak-anaknya untuk menemukan jati diri dan keberanian melanglang jauh menjemput kehidupan baru.
Lihatlah bagaimana seorang ibu, yang kerap dipandang sebelah mata, mampu menghidupkan rumah tangga dengan sentuhan magisnya. Di balik pintu yang tertutup rapat, ia adalah penjaga waktu yang setia, yang bangun di kala subuh menjelang, memulai harinya saat embun masih menggantung di ujung dedaunan. Ia mengatur setiap detik dengan cermat, merangkai pagi hingga malam dengan segenap ketulusan dan ketenangan.
Ia mengatur kesibukan, mengelola keuangan, dan menyulap ruang-ruang sempit menjadi istana kecil yang hangat bagi keluarganya. Ia tak hanya mengasuh dan mendidik anak-anaknya dengan penuh kasih, tetapi juga menyulut semangat dan mendidik dengan keteguhan hati yang tak pernah gentar meski badai datang silih berganti.
Perempuan adalah penjaga keseimbangan, yang di balik keteduhannya menyimpan ketangguhan yang mungkin tak selalu terlihat oleh mata yang terbiasa menilai kekuatan dari penampilan luar semata.
Mereka yang meragukan perempuan untuk memimpin adalah mereka yang tak pernah benar-benar menyadari bagaimana seorang ibu, seorang perempuan, merawat waktu dengan hati-hati, menjaga keseimbangan dengan tenang, dan menyejukkan hati dengan kelembutannya yang tak pernah lelah. Ia adalah penjaga malam yang setia, yang meski tubuhnya lelah, tetap menyusuri waktu dengan senyum di bibir, meredakan tangis anaknya, atau sekadar memastikan semuanya baik-baik saja.
Maka, jika saat ini masih ada yang meragukan lahirnya pemimpin-pemimpin perempuan yang tangguh, bukankah itu hanya alasan yang terlahir dari ketakutan mereka sendiri? Tak ada keraguan yang berhak bertahan ketika kenyataan menunjukkan bahwa perempuan, dengan segala peran yang disandangnya, adalah pilar yang menguatkan, penjaga yang tak terlihat, dan pemimpin yang selalu ada meski sering kali tak diakui. Di bawah bayang lembut perempuan, tercipta generasi yang kuat, kokoh, dan siap menerjang apa pun yang menghadang.
Bukankah sudah saatnya kita berhenti meragukan, dan mulai mempercayai bahwa di balik kelembutan seorang perempuan, tersembunyi kekuatan yang mampu mengubah dunia?