Keberagaman suku dan budaya di Indonesia dari 38 provinsi memiliki tradisi dan nilai warisan leluhur yang melekat pada ciri khas masing-masing. Warisan leluhur berbentuk budaya yang tidak dapat dipisahkan dari masyarakat itu sendiri seperti tarian, lagu, sistem kepercayaan, benda, larangan, adat istiadat, dan lain sebagainya, yang masih dijunjung tinggi dan dihormati. Kebudayaan menurut Koentjaraningrat dan C. Klukhohn (Pramaputra, 2008, p. 59) terdiri atas, sistem kepercayaan/religi, sistem organisasi sosial/kemasyarakatan, sistem pengetahuan, sistem bahasa, sistem kesenian, sistem mata pencaharian, dan sistem teknologi dan peralatan. Menurut Kluckhohn (dalam Syifa, 2017), ciri-ciri budaya, yaitu: (1) Budaya bisa disampaikan dari orang ke orang, dari kelompok ke kelompok, atau dari generasi ke generasi; (2) Budaya harus dipelajari bukan menjadi bawaan; (3) Budaya berdasarkan symbol; (4) Budaya bersifat selektif yaitu mempresentasikan pola-pola perilaku pengalaman manusia yang berjumlah terbatas; (5) Budaya bersifat dinamis, yaitu sistem bisa berubah sepanjang waktu; (6) Unsur budaya saling berkaitan; (7) Etnosentrik (menganggap budaya sendiri merupakan budaya yang terbaik)
Kebudayaan dapat disebut juga sebagai kearifan lokal, salah satu kearifan lokal yang sampai saat ini masih dipercaya, yaitu Pamali atau Tabu. Tabu (Laksana, 2009 : 17-18) adalah larangan atau pantangan supaya tidak terkena sanksi fisik atau sanksi sosial. Konsep pamali mencerminkan norma atau moral yang dipegang oleh masyarakat tertentu mengakar dari pengalaman atau kebiasaan terdahulu. Di Indonesia, setiap suku memiliki larangan dan anjuran masing -masing dalam mengatur kehidupannya. Suku yang memiliki larangan / aturan dalam adalah masyarakat Jawa. Masyarakat Jawa memiliki sebuah pandangan hidup yang dikenal sebagai "Falsafah Panunggalan", yaitu sebuah konsep ajaran tentang kewajiban umat manusia untuk menjaga atau menyangga harmoni (keseimbangan atau keselarasan) hubungan semua unsur semesta yang dikodratkan, yaitu selamat, indah, dan sejahtera (Firmani, 2014: 88-89). Masyarakat Jawa percaya bahwa mereka tidak boleh bertindak gegabah dan sembrono dalam melakukan tindakan supaya tidak bertabrakan dengan berbagai roh dan kekuatan halus.
Beberapa masyarakat Jawa menganggap pamali adalah mitos belaka atau memandang sebelah mata, namun ada juga yang mempercayai karena biasanya sudah pernah mengalami ataupun masyarakat yang sudah lama tinggal dengan berpegah teguh kepercayaan tersebut. Pamali diwariskan secara turun-temurun dari generasi-ke genarasi melalui cerita yang dapat ditemukan saat terdapat di pernikahan, sunatan, tujuh bulan (hamil), baru melahirkan, ataupun perilaku yang tidak mencerminkan norma kesopanan. Eksistensi budaya pamali akan sulit untuk dihilangkan walaupun kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin berkembang, pada dasarnya pamali adalah pengalaman yang mengajarkan kepada masyarakat untuk bersikap berhati-hati dan dan membawa selamat
BENTUK PAMALI di ADAT JAWA
Bentuk Pamali di daerah Jawa, adalah larangan perkawinan Jawa. Terdapat lima larangan menikah : Pertama larangan perkawinan yang tidak sesuai weton atau hitungan Jawa. pernikahan yang hari akad nikahnya didasarkan pada perhitungan hari lahir seseorang dengan pasarannya, misal Senin Wage, Selasa Pahing, Rebu Legi, Kamis Pon atau Jum'at Kliwon (ada lima hari pasaran, yaitu: Pahing, Pon, Wage, Kliwon dan Legi) (Kebudayaan, 1988, p. 1011). Kedua, larangan menikah lusan manten yaitu larangan menikah bagi anak pertama dan ketiga. Larangan ini berisi tentang keharusan masyarakat untuk tidak menikahkan anak yang berstatus anak pertama dengan anak ketiga. Ketiga, larangan menikah bagi kedua calon tersebut memiliki tempat tinggal yang arahnya ngalor-ngulon atau ke arah utara-barat. Orang tua mereka tidak menyetujui atau merestui perkawinan kedua calon pasangan. Fenomena tiga larangan perkawinan Jawa merupakan akulturasi dari agama dan kebudayaan yang kental akan tradisi sesuai norma adat yang berlaku.
Terdapat juga larangan bagi wanita yang masih gadis, adapun ungkapan pamali tersebut beberapa diantaranya seperti "Ojo mangan nang ngarepe lawang, wong wedok gak oleh adus suwi-suwi nang kamar mandi, dan sebagainya". akan bermakna lain sesuai dengan pemahaman dan kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam makna yang sebenarnya akan dapat dipahami bahwa makan di depan pintu tentu akan mengganggu orang yang sedang lewat (keluar-masuk) dan berlama-lama di kamar mandi tentu akan memboroskan air dan membuang banyak waktu. Bentuk pamali tersebut terlihat seperti melarang hal-hal yang tidak baik atau melarang hal-hal yang tidak layak untuk dilakukan, terutama bagi seorang wanita (Wulandari Virda, 2020: p.6-7)
Larangan bukan muncul karena kebetulan, namun terdapat tiga faktor terbentuknya pamali di adat Jawa, yakni: Faktor individu adalah seseorang yang pernah mengalami kesialan membuat mereka memberitaukan ke orang lain untuk dijadikan nasihat, faktor sosial adalah mendapat gunjinggan dari masyarakat karena kelalaian sendiri, sehingga kesalahan tersebut menjadi pengalaman untuk lebih berhati-hati sedangkan faktor alam adalah pantangan yang sudah ditadirkan karena ada sebab rahasia alam atau kekuatan sang pencipta. Masyarakat Jawa yang tetap teguh melestarikan tradisi biasanya adalah kelompok Jawa kejawen.
INTERPRETASI MELALUI PERSPEKTIF "CULTURE is ORDINARY"
Larangan yang melekat pada adat Jawa merupakan pengalaman individu yang dijadikan pembelajaran supaya lebih berhati-hati dalam menjalani kehidupan. Hadirnya pamali bersamaan dengan cara hidup masyarakat sekitar yang mempercayai hal dapat dilihat perspektif Sosiologi menggunakan teori Raymond William, Ia mengatakan bahwa "Culture is Ordinary sebagai kehidupan sehari-sehari". Menurut Raymond pengertian kebudayaan dibagi dalam tiga hal, yaitu : Life culture, recorder culture, dan culture is ordinary. Jika ditafsirkan dalam budaya pamali adat Jawa, maka penjelasan sebagai berikut :
a. Life culture : Kebudayaan membuat masyarakat memiliki praktik baru untuk kelangsungan hidup, seperti pamali membuat masyarakat Jawa untuk lebih berhati-hati sesuai nasihat dari warisan leluhur.
b. Recorder culture : Pamali terbentuk dari pengalaman di masa lalu yang dapat membuat individu celaka, maka dari itu kepercayaan tersebut masih dipegang dari generasi ke generasi