Saat ini, film sebagai salah satu hiburan yang paling diminati masyarakat semakin mudah untuk dijangkau, karena hanya dengan bermodalkan smartphone, smart tv, laptop dan internet para penonton bisa menikmati banyak film di manapun dan kapanpun mereka inginkan.
Namun sayangnya, kemudahan yang didapatkan ternyata memberikan celah besar bagi oknum-oknum nakal yang kurang menghargai hasil karya seni anak negeri. Kasus pembajakan film Indonesia semakin lama semakin meningkat, tidak hanya di platform streaming ilegal, saat ini pembajakan sudah merambat ke media sosial Tiktok dan Telegram.
Kurangnya edukasi legalitas menonton film hingga keterbatasan dana penonton menjadi alasan dasar bagi mereka yang menjangkau film-film bajakan. Padahal tidak semua platform streaming menggunakan sistem langganan berbayar, ada juga platform streaming legal yang memberikan pilihan untuk melakukan langganan atau tidak, jika tidak maka penonton tidak perlu membayar dan tetap bisa menonton secara gratis.
"Ngga semua film yang mau aku tonton ada di satu platform, jadi daripada buang-buang anggaran untuk berlangganan banyak platform mending aku move ke Telegram yang gratisan" ungkap Chelsea Malau seorang mahasiswi yang hampir setiap hari menonton film untuk melepas penat kesehariannya melalui wawancara via Whatsapp pada Minggu (18/06).
Melihat hal ini, Yudi Akso sebagai Operator Camera SinemArt merasa prihatin, karena pembajakan film ini sangat merugikan insan-insan perfilman indonesia, gejolak pembajakan sangat dirasakan dalam sisi produktifitas, kreatifitas, jumlah investasi, hingga distribusi pendanaan.
"Pembajakan ini sangat memengaruhi dan merugikan, karena akan membuat kreatifitas dan produktifitas tim kreatif itu sendiri menjadi menurun. Begitu juga dengan pendanaan, semakin maraknya pembajakan, maka akan semakin menurun pula pendanaan dan pendapat dalam sebuah produksi film." jelas Yudi melalui wawancara via Whatsapp pada Senin (19/06).
Karya yang sepatutnya diapresiasi dan dihargai tidak didapatkan oleh Kathleen Carolyne selaku pemain di beberapa web series Indonesia, ia mengaku bahwa pembajakan yang terjadi hanya menguntungkan pelaku pembajakan, bukan pihak publisher filmnya sendiri.
"Saya yang menginginkan feedback terbaik dari masyarakat Indonesia pastinya sedih dan kecewa. Bahkan teman-teman saya yang juga bekerja keras dalam pembuatan Film, Series ataupun FTV sangat mengharapkan bahwa masyarakat dapat menghargai karya yang telah susah payah dibuat dengan keringat dan jerih payah kami" Harap Kathleen melalui wawancara via Whatsapp pada Senin (19/06).
Walaupun pembajakan film ini tidak akan memegaruhi minat anak muda pada industri perfilman Indonesia, namun jika perlindungan hak cipta masih belum maksimal dan hukuman yang diberikan kepada pelaku pembajakan tidak menimbulkan efek jera, maka kegiatan pembajakan film ini tidak akan pernah selesai dan akan terus bermunculan platform-platform terbaru yang menyediakan film-film bajakan.
"Tantangan terbesar saat ini adalah kurangnya support hak cipta atau copyright oleh pemerintah Indonesia. Beda dengan negara lain, di amerika kalo udah ketauan plagiat atau dibajak pasti bisa langsung dituntut" jelas Pradisya Dwi Ramadhanti selaku kepala divisi Media Kreatif FIBER UPN Veteran Jakarta melalui wawancara via LINE pada Senin (19/06).
Dalam menghadapi ancaman pembajakan film, diperlukan langkah-langkah tegas dan kerja sama antara pemerintah, industri perfilman, dan masyarakat. Kesadaran masyarakat tentang pentingnya menghormati hak cipta dan konsekuensi negatif pembajakan film perlu ditingkatkan. Pemerintah perlu menerapkan undang-undang yang lebih ketat dan melaksanakan penegakan hukum yang efektif terhadap pelaku pembajakan film.