Tiada Pidana Tanpa Kesalahan
Istilah "tiada pidana tanpa kesalahan" atau geen straf zonder schuld acap kali terdengar dalam hukum pidana sebagai prinsip umum hukum pidana. Berawal dari putusan Mahkamah Agung (Hoge Raad) Belanda pada 14 Februari 1916 yang secara tegas membenarkan dan menganut semboyan "tiada hukuman pidana tanpa kesalahan". Kemudian di tahun 1957, Mahkamah Agung Indonesia dalam putusannya yang termuat pada majalah Hukum tahun 1957 No. 7-8 menganggap bahwa prinsip tiada pidana tanpa kesalahan telah sesuai dengan rasa keadilan di Indonesia.
Penerapan prinsip tersebut di Indonesia tidak semata-mata hanya karena apa yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), melainkan karena bilamana hal tersebut tidak diberlakukan di Indonesia, akan ada kemungkinan seseorang dijatuhi hukuman pidana sekalipun tidak terdapat kesalahan dari pelaku (Prodjodikoro, 2014). Hal yang demikian inilah justru bertentangan dengan hak asasi manusia sebab menjatuhi suatu hukuman pidana pada seseorang.
Seorang pakar hukum, Simons, menempatkan kesalahan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana (Kanter, 2018). Sedangkan menurut Roeslan Saleh dan Moeljatno berpendapat bahwa kesalahan merupakan unsur dari pertanggungjawaban pidana.
Untuk menentukan ada atau tidaknya kesalahan pada pelaku, menurut Simons, setidaknya terdapat beberapa hal yang harus dicapai terlebih dahulu antara lain adalah kemampuan bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid), hubungan kejiwaan (psychologische betrekking) antara pelaku, kelakuannya serta akibat yang ditimbulkan, dan unsur kesengajaan (dolus) atau kelalaian (culpa).
Terkait unsur kemampuan bertanggung jawab, hanya seseorang yang mampu bertanggung jawablah yang dapat dimintakan pertanggungjawaban. Sehingga pada umumnya seseorang dikatakan mampu bertanggung jawab (toerekeningsvatbaarheid) apabila keadaan jiwanya tidak terganggu oleh penyakit terus menerus, tidak cacat dalam pertumbuhan, dan tidak terganggu jiwanya karena suatu hal seperti terkejut, amarah yang meluap, berada dalam pengaruh alam bawah sadar, mengigau karena demam, dan lain sebagainya. Sementara untuk kemampuan jiwanya, seseorang dapat menginsafi hakikat dari tindakannya, dapat menentukan kehendaknya sendiri, serta dapat mengetahui akibat dari tindakannya tersebut (Kanter, 2018).
KUHP telah mengatur mengenai kemampuan bertanggung jawab seseorang. Pada Pasal 44 ayat (1) KUHP terjemahan Moeljatno yang berbunyi, "Barang siapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan padanya, disebabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya (gebrekkige ontwikkeling) atau terganggu karena penyakit (ziekelijke storing), tidak dipidana."
Pasal ini menunjukkan adanya suatu sebab yang membuat seseorang tidak dapat dipidana karena jiwanya yang tidak dapat dipertanggungjawabkan. Mengapa demikian? Memang pada dasarnya untuk menjatuhkan hukuman pidana pada seseorang, si pelaku haruslah terbukti bersalah. Akan tetapi, dalam keadaan tertentu, yang terbukti bersalah pun tidak wajib dihukum.
Seperti halnya yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat 1 KUHP, terdapat alasan penghapus pidana dengan memaafkan si pelaku (fait d'excuse) bilamana si pelaku merupakan orang dengan gangguan kejiwaan (Prodjodikoro, 2014). Yang dimaksud dengan gebrekkige ontwikkeling disini berarti kekuatan atau daya jiwanya yang sudah cacat sejak lahir.
Sementara pada ziekelijke storing, terdapat gangguan kejiwaan pada diri seseorang seperti gila, epilepsi, melancholie, dan berbagai penyakit kejiwaan lainnya (Soesilo, 2018). Beranjak dari penjelasan singkat tersebut, timbul suatu pertanyaan, siapakah yang berhak menentukan bahwa seorang pelaku tindak pidana merupakan orang yang mengalami gangguan kejiwaan atau tidak sehingga karenanya tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban?
Sekilas mengenai Psikiatri Forensik