Lihat ke Halaman Asli

Shafira MiftahulJannah

Mahasiswa Pendidikan Sosiologi FIS UNJ

Pencitraan Diri Pemuda di Sosial Media dalam Perspektif Dramaturgi

Diperbarui: 9 Desember 2021   16:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pemuda sebagai konstruksi sosial akan selalu berada dalam proses menjadi atau becoming atau bisa dibilang pemuda adalah subyek yang sewaktu-waktu harus bernegosiasi dengan kondisi yang unik yaitu berupa relasi kuasa yang tidak seimbang baik termanifestasi dalam institusi yang merepresentasikan negara, pasar, budaya dan masyarakat itu sendiri (Sutopo, 2016). Secara sosiologis pemuda adalah individu yang terbebani masa lalu dan terwarisi masa depan.

Citra diri merupakan konsep yang dibangun atau dikonstruksikan oleh individu tentang dirinya sendiri baik berupa penampilan fisik dan segala hal yang berkaitan dengan dirinya, kemudian konsep tentang dirinya ini ditunjukkan kepada orang lain dan imajinasi terkait bagaimana tanggapan atau kesan orang lain terhadap citra diri yang ia miliki.

Dizaman yang teknologinya sudah berkembang dengan pesat ini, interaksi yang terjadi tidak hanya secara langsung di dunia nyata, tetapi bisa juga terjadi di dunia maya atau internet dengan perbedaan dimensi ruang dan waktu bisa berinteraksi satu sama lain melalui sosial media. Sosial media ini seperti Facebook, Twitter, Line, WhatsApp, TikTok, dan Instagram. Keberadaan sosial media tersebut memberikan kemudahan bagi setiap individu untuk berkomunikasi dan berinteraksi dari jarak jauh sehingga tidak memerlukan biaya yang banyak, bahkan tidak memerlukan waktu yang lama.

Maraknya penggunaan sosial media terutama dikalangan pemuda lebih sering digunakan untuk mengkonstruksikan citra diri dibandingkan untuk berinteraksi dengan orang lain, sehingga melahirkan fenomena baru dimana para penggunanya tidak lagi menggunakan sosial media sebagai media komunikasi, tetapi lebih mengarah pada pemanfaatan sosial media menjadi sarana atau wadah untuk mengkonstruksikan citra diri yang efektif bagi para pemuda (Rianti, 2019). Citra diri di sosial media bagi para pemuda ini menjadi bagian terpenting dari konten yang ia unggah atau yang akan diunggah. Citra diri ini bisa terjadi apa adanya atau bisa juga dipaksakan agar terbentuk citra yang sedemikian rupa sesuai dengan ekspektasi pemuda yang menjadi pengguna dari sosial media. Hal ini juga didukung dengan hadirnya fitur-fitur di sosial media untuk terbentuknya front stage dari sebuah citra yang ingin dibangun tersebut yang menjadi bagian dari dramaturgi. Dimana, melalui sosial media menurut Goffman dalam (Ritzer, 2014:638) individu ingin menyajikan suatu citra diri tertentu yang akan diterima oleh orang lain.

Dengan berbagai fitur-fitur yang tersedia di sosial media memungkinkan untuk terbentuknya kesan tertentu bagi para pemuda sebagai pemilik akun. Salah satu cara para pemuda mempresentasikan diri mereka adalah dengan mengunggah konten dalam bentuk foto, video, maupun tulisan di sosial medianya yang bisa mencapai image atau gambaran seperti apa yang diekspektasikan. Di sosial media, para pemuda cenderung menampilkan hal yang ingin ia tampilkan atau perlihatkan kepada orang lain daripada realitas kehidupannya. Misalnya, tidak sedikit para pemuda menginginkan menjadi pribadi yang hits, tampil sesuai dengan trend yang sedang berkembang hingga mereka juga memiliki sosok lain yang mereka ingin ditunjukan di sosial media. Seperti, di sosial media para pemuda mengunggah foto atau video dengan mempercantik diri yang terkadang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada, tampil dengan barang-barang branded dan kehidupan yang glamour atau mewah yang terkadang tidak sesuai dengan kemampuan serta kenyataannya, atau bahkan sikap dan sifat terpuji yang ditampilkan di sosial media sangat berbeda dengan kenyataannya, dan lain sebagainya.

Sehingga, para pemuda membentuk citra diri yang ditampilkan di sosial media ditujukan sebagai bentuk kepemilikan dan presentasi diri (self presentation). Dan cenderung menjadikan sosial media ini sebagai sarana atau wadah untuk menampilkan alter ego mereka. Goffman (1959) menunjukkan bahwa identitas yang dibentuk pemuda di sosial media merupakan hasil konstruksi dan dibentuk ulang berdasarkan lingkungan sosial pemuda.

Erving Goffman dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Everyday Life (1959) mengatakan bahwa dramaturgi merupakan sebuah teori dasar tentang bagaimana individu tampil di dunia sosial. Pemikiran Goffman fokus interaksi tatap muka atau kehadiran bersama (co-presence). Seorang individu dapat menampilkan suatu pertunjukan apapun untuk orang lain, namun kesan (impression) yang didapatkan oleh orang banyak terhadap pertunjukan itu bisa berbeda-beda. Bisa juga sepenuhnya terhanyut oleh tindakannya sendiri, yang diyakinkan dengan kesan realitas yang ia tampilkan adalah realitas sebenarnya (Goffman, 1959). Dan bisa sangat yakin dengan pertunjukan yang ditampilkan kepadanya, tetapi bisa juga sebaliknya (Santoso, 2012:47).

Menurut Erving Goffman dalam teori dramaturgi kehidupan ini dikatakan sebagai panggung sandiwara, dimana individu dengan karakter yang berbeda berada di panggung depan (front stage) dan panggung belakang (back stage). Panggung belakang (back stage) adalah situasi dimana aktor bebas mengeskpresikan perilaku atau terlihat sifat yang sebenarnya tanpa dilihat oleh orang lain atau publik. Saat di back stage pula setiap aktor mengkonstruksikan dan mempersiapkan diri sebelum nantinya ditampilkan di front stage. Sedangkan, panggung depan (front stage) adalah keadaan dimana aktor berusaha menampilkan dirinya di hadapan orang lain. Kesan yang telah diciptakan dan dikumpulkan di back stage akan ditampilkan di front stage saat orang lain akan melihat citra dirinya yang telah dibentuk atau dikonstruksikan. Dalam artian, citra diri yang ditampilkan di front stage ini adalah sebagai "topeng" dari segala hal yang ingin ditutupi dari realitas kehidupan aktor. Sehingga, orang lain akan terkesan dengan citra diri yang dieskpresikan di sosial media.

Dalam perspektif dramaturgi Goffman tidak terlepas dari pengelolaan kesan (impression management) yang dilakukan oleh para pemuda di sosial media mereka. Setiap setting kehidupan para pemuda dianalogikan saat dimana mereka menjadi aktor yang melakukan pertunjukan tertentu dalam memberikan kesan pada orang lain. Yang dimaksud dengan setting adalah cara mereka dalam membuat image yang ingin mereka tunjukan sehingga berhasil ditangkap oleh orang lain sesuai dengan yang aktor inginkan. Menurut (Argyle, 1994:2) terdapat 3 motivasi primer impression management, yaitu:

- Adanya keinginan untuk mendapatkan imbalan materi atau sosial, 

- Untuk mempertahankan atau meningkatkan harga diri, serta 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline