Lihat ke Halaman Asli

Shafira Artha Prima

arigatou gozaimasu

Eksploitasi Pekerja Film di Indonesia

Diperbarui: 13 April 2022   21:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Film. Sumber ilustrasi: PEXELS/Martin Lopez

Pesatnya kemajuan Industri film indonesia selama dua dekade terakhir. Membuat industri film digadang-gadang akan menjadi "tulang punggung" perekonomian Indonesia. Meski industri film dapat meraup keuntungan yang besar, namun banyak permasalahan didalam industri film yang belum diperhatikan secara serius dari ekosistem perfilman.

Survei yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2016 menemukan bahwa permasalahan yang sering ditemukan dalam industri film adalah overwork/Jam Kerja Panjang.

Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI) dan Indonesian Cinematographers Society (ICS) juga turut serta dalam mewujudkan kondisi kerja yang lebih manusiawi, inklusif, dan berkeadilan di industri film Indonesia.

Dengan menerbitkan kertas posisi Sepakat di 14: Advokasi Pembatasan Waktu Kerja dan Perlindungan Hak Pekerja Film Indonesia. Kertas posisi tersebut meminta pembatasan waktu pekerja film, yakni maksimal 14 jam dalam sehari.

Kertas posisi ini dibuat berdasarkan survey. Hasil Survey sebanyak 401 responden dan 22 partisipan yang di kumpulkan melalui Forum Group Dsicussion (FGD) yang memiliki sebuah posisi yang startegis dalam berjalannya sebuah produksi yakni Sutradara, Asisten Sutradara, Art Director-Production Designer, dan Produser.

Dari hasil Survei dan Forum Group Dsicussion (FGD) terdapat 3 permasalahan utama yang dihadapi oleh pekerja film:

  • Merasakan Jam Kerja Berkepanjangan, sebanyak 54,11 persen responden menyatakan bekerja 16-20 jam sehari.
  • Pelanggaran hak normatif, seperti upah yang tidak dibayar tepat waktu sesuai perjanjian atau tidak pernah dibayarkan
  • Flexploitation dengan ketiadaan jaminan sosial, asuransi kesehatan dan harus menanggung sendiri hidden cost dalam kerjanya

Kertas posisi ini mengerucutkan bahwa 3 permasalahan utama tersebut terjadi karena adanya faktor-faktor yang diabaikan.

Pekerja film cenderung mengabaikan hukum ketenagakerjaannya,  dalam produksian film dengan jam kerja yang berkepanjangan tidak sesuai dengan aturan yan telah diatur negara dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja.

Kontrak kerja yang bermasalah dan merugikan pekerja film dengan  tidak menyediakan jaminan sosial, asuransi kesehatan dan harus menangung sendri biaya hiden cost dalam kerjaan.

Pemerintah masih pasif dalam melindungi pekerja film. Pemerintah menitik pusatkan perhatiannya, pada aspek bisnis sektor perfilman dengan mendorong akses investasi dan permodalan, perlindungan hak kekayaan intelektual, dan promosi karya film.

Tidak adanya langah konkret dari pemerintah dan UU 33 tahun 2009 yang dinilai kurang melindungi pekrja film sehingga harus di revisi karena dianggap tidak berdampak langsung terhadap pertumbuhan industri perfilman nasional sejak 2009 hingga pertengahan 2017.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline