Lihat ke Halaman Asli

Fatihah Bani Shafa

Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Menelusuri Jejak Pelopor di Madinah: Mengungkap Warisan Sastra yang Terlupakan

Diperbarui: 15 Juni 2023   23:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Sebagai bagian integral dari kajian sejarah, historiografi atau sejarah penulisan sejarah telah mengungkapkan bahwa zaman evolusi juga mempengaruhi cara penulisan sejarah. Perubahan ini terjadi  akibat dari berbagai faktor, seperti situasi sosial, budaya, dan ekonomi yang ada dalam masyarakat. Dengan demikian gaya penulisan sejarah mampu memberikan wawasan tentang ketiga aspek tersebut dalam suatu masyarakat.

 

Menurut Husein Nashshar, perkembangan penulisan sejarah atau historiografi Islam pada masa awal kebangkitannya dapat dibagi menjadi tiga aliran, yaitu aliran Yaman, aliran Madinah, dan aliran Irak. Pada awal masa kebangkitan Islam, karya-karya sejarah seringkali mencampuradukkan informasi historis dengan dongeng dan legenda, dan jenis penulisan ini masih merupakan kelanjutan dari historiografi Arab pra-Islam. Namun, pada akhir periode Madinah, ilmu sejarah tidak dapat berdiri sendiri, melainkan harus mengikuti perkembangan ilmu dan hadis.

 

Aliran sejarah yang muncul di kota ini disebut juga sebagai aliran Madinah.  Para sejarawan juga memperluas cakupan penelitian mereka dalam berbagai aspek, seperti al-Maghazi atau pertempuran yang dipimpin oleh Nabi Muhammad SAW. 

Dari penelitian al-Maghazi ini, aliran penulisan sejarah Madinah akhirnya menghasilkan penulisan biografi Nabi Muhammad SAW. Di sisi lain, untuk kepentingan penelitian Hadis, para ulama juga ikut terlibat dalam menyusun biografi para sahabat yang kemudian berkembang menjadi koleksi biografi para ulama. Dalam hal tema sejarah, aliran Madinah lebih banyak mengamati biografi Nabi saw atau al-sirah al-Nabawiyah dan perang-perang Nabi saw atau al-maghazi. Salah satu pelopor dari aliran Madinah ini ialah Imam Malik ibn Anas. 

 Nama lengka dari Imam Malik sendiri ialah Abdullah Malik ibn Anas ibn Malik ibn Abi Amir ibn ‘Umar bin Al-Haris (93 H-179 H). Beliau lahir di Zulmarwah yang berada di sebelah utara al-Madinah al-Munawarrah. Kemudian beliau tinggal di al-Akik untuk sementara waktu, yang pada akhirnya beliau pun menetap di Madinah. 

Seperti halnya Imam Abu Hanifah, Imam Malik juga mengalami dua periode kehidupan yang berbeda. Ia dilahirkan pada saat kekuasaan Bani Umayyah di bawah pemerintahan al-Walid Abd. al-Malik dan meninggal pada masa pemerintahan Bani Abbasyiyah, khususnya pada masa kekuasaan Harun al-Rasyid. Imam Malik terkenal sebagai seorang mujtahid yang teguh dalam pendiriannya dan konsisten dalam hasil ijtihadnya, meskipun harus berseberangan dengan kebijakan rezim penguasa. Bukti nyata dari hal ini adalah ketika beliau mengalami penyiksaan oleh khalifah al-Manshur dari Bani Abbasiyah di Baghdad sebagai akibat dari pendiriannya yang berbeda pandangan.

 Salah satu karya dari Imam Malik ibn Anas ialah “Al-Muwatta”. Sebuah kitab hadist yang menjadi salah satu sumber hukum Islam yang paling dihormati. Kitab ini memberikan panduan hukum yang berdasarkan praktik dan tradisi yang berlaku di Madinah pada masa itu. Karya ini tetap menjadi salah satu karya penting dalam studi hadis dan fiqih Islam. Menurut istilah hadist, al-Muwatta merupakan kitab yang ditulis secara sistematika bab per bab fiqh, serta meliputi hadits-hadits marfu’, mungathi, seperti mushanaf berbeda dalam segi penamaanya. Penulisan kitab al-Muwatta ini di latarbelakangi atas dasar problematika politik dan sosial agama yang memiliki peranan besar mengapa kitab ini disusun.

 Kitab al-Muwatta juga berisikan tentang hadits-hadits Nabi Muhammad SAW., qaul sahabat, qaul tabi’in, ijma ahl al-Madinah, serta sudah termasuk pendapat Imam Malik. Terjadi perbedaan pendapat mengenai apakah kitab al-Muwatta ini termasuk dalam kategori kitab fiqh atau kitab hadis. Abu Zahra berpendapat bahwa al-Muwatta' adalah kitab fiqh karena Imam Malik bertujuan untuk mengatur kehidupan manusia, sehingga dapat dikategorikan sebagai fiqh dan undang-undang. Pandangan ini tidak berfokus pada validitas atau keaslian hadis-hadis yang terdapat di dalamnya. Faktanya, Imam Malik sendiri menyusun kitabnya dengan membaginya menjadi bab-bab yang berkaitan dengan masalah-masalah fiqh.

 Kitab al-Muwatta' disusun berdasarkan sistematisasi bab Fiqh, hal ini didasarkan pada penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Fuad al-Baqi terhadap kitab tersebut. Secara fisik, kitab ini terdiri dari 2 juz, 61 kitab (bab), dan mengandung 1824 hadis. Imam Malik memiliki beberapa kriteria atau karakteristik dalam hal ini. Dalam meriwayatkan hadis, Imam Malik menggunakan tahapan-tahapan proses sebagai berikut:

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline