Lihat ke Halaman Asli

Secercah Harapan yang Nyaris Hilang

Diperbarui: 17 Juni 2015   15:51

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Tema : Pendidikan

Secercah Harapan yang Nyaris Hilang

“ Pokoknya aku mau sekolah Bu.. Pokoknya...,” Isak tangis Rara mewarnai rumah kecil di pelosok sebuah desa yang amat terpencil.

“ Nggak boleh. Ibu nggak akan pernah mau mengizinkannya..,” Kata Ibu yang sudah mulai renta.

“ Kenapa bu ? Apa alasannya ? Bukankah Ibu bangga kalo anak-anaknya pintar dan sukses kelak ?” Bantah Rara.

“ Karna kamu itu perempuan !!! Dan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Toh akhir-akhirnya jadi ibu rumah tangga juga. Buat apa sekolah tinggi-tinggi yang mengeluarkan biaya banyak kalo toh akhirnya jadi ibu rumah tangga juga nantinya ?” Ujar Ibu tak mau kalah. Rara menghampiri Ibu dengan raut wajah penuh harap. Ia duduk bersimpuh di hadapan Ibu. Ia tak mampu membendung air mata lagi. Yang ia inginkan hanyalah menimba ilmu di pulau seberang terlebih saat paman yang berpendidikan itu mau menawarkan sekolah gratis untuknya. Serasa menemukan oase di padang pasir yang tandus, ia menyambut tawaran itu dengan sangat antusias. Akan tetapi keinginan Ibu sangat menghambat perjalanan yang akan dimulainya untuk sekolah.

“ Bu, Aku mohon... Aku mohon dengan penuh hormat... Aku ingin sekolah bu.. Aku ingin memutus rantai kemiskinan yang ada di keluarga kita.. Dengan begitu keluarga kita akan terangkat derajatnya.. Ayolah Bu..,” Pinta Rara di sela isak tangisnya. Ibu membuang muka dan berkata pedas,

“ Kalo kamu jadi sekolah.. Ibu akan mati... Lihat saja nanti.. Kalo kamu pulang dari merantaumu, Ibu sudah tidak ada lagi menemanimu..,”

“ Ibuuuuu.......,” Tangis Rara semakin pecah. Ia tak menyangka Ibu begitu skeptis terhadap pilihannya untuk sekolah. Ibu berlalu meninggalkan Rara seorang diri di ruang tengah.

Di tepi jendela, Rara termenung melihat kemilau bintang-bintang yang bertaburan di atas langit. Ia menari dalam angan-angan indahnya. Sesaat kemudian, paman memanggilnya. Lamunannya pun buyar.

“ Gimana Rara ? Kamu sudah mendapatkan kesempatan emas ini. Gunakan kesempatan itu Ra.. Kamu harus bangkit.. Ayo Ra..!” Hening. Hanya jangkrik sesekali yang menjadi instrumen musik malam itu. Lidah Rara terasa kelu. Ia hanya menerawang ke luar jendela. Menatap dengan pandangan kosong. Paman masih menanti jawaban yang akan diucapkan Rara.

“ Ra.. Umurmu masih belasan tahun. Jangan putus sekolah gitu saja dan langsung nikah seperti teman-temanmu ! Masih ada banyak ilmu yang perlu kamu cari dan masih begitu banyak pula impian yang bisa kamu raih. Perjalananmu masih panjang Rara..,” Pesan paman seraya merengkuh bahu Rara yang kini tertunduk sedih.

“ Ibu gimana ? Ibu lebih suka jika aku segera menikah daripada sekolah jauh-jauh. Ibu selalu beranggapan perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi karena toh nantinya pasti jadi ibu rumah tangga juga..,” Kata Rara yang seakan-akan tidak menemukan secercah cahaya. Ia lekas mengubur semua harapannya dalam-dalam.

“ Ra.. Paman sudah memberi pemahaman kepada Ibu bahwa pendidikan itu sangatlah penting. Meskipun perempuan sudah krodatnya menjadi ibu rumah tangga kelak.. Ilmu tetap berperan penting bagi semuanya tanpa terkecuali. Anak yang cerdas lahir dari Ibu yang cerdas bukan ? Lagipula, kamu tentunya nggak mau kan kalo tetap berada dalam lingkaran kemiskinan ini ? Berawal dari sinilah kita harus memutus rantai itu dengan menuntut ilmu.. dengan bersekolah tentunya Ra..,” Ujar paman yang sedikit menghapus lara dalam hati keponakannya itu.

“ Ibu mengizinkanmu nak..,” Ibu keluar dari kamar dan memeluk anaknya itu erat-erat. Luka sayatan pisau belati di hati Rara yang teramat perih itu perlahan sirna. Rara tak kuasa menahan air mata. Butir-butir air mata kembali mengalir deras membasahi kedua pipinya.

“ Makasih banyak Ibu.. Aku akan memberikan yang terbaik untuk Ibu, almarhum Bapak, keluarga, dan untuk semuanya..,”Ungkap Rara terbata-bata.

“ Besok pagi kamu boleh pergi bersama paman. Pesan Ibu.. Hati-hati di jalan ya nak.. Ibu akan selalu mendukungmu.. Doa kami sekeluarga kan selalu menyertai langkahmu nak..,” Kata Ibu lagi yang ikut menitikkan air mata karena hendak berpisah dengan anak semata wayangnya untuk merantau, mencari ilmu, dan meraih semua mimpi yang sempat ia pendam dalam keheningan malam.

Oleh : Shabrina Aulia Tsaani

NIM : 14410034

Kelas : Psikologi - A

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline