Lihat ke Halaman Asli

Shabirin Arga

Penulis, Pengamat Sosial dan Politik

Partai Politik, dari Industri Pemikiran ke Industri Pasar

Diperbarui: 13 Juli 2022   20:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Shabirin Arga- Pengamat Komunikasi Politik

Dalam proses demokratisasi dan reformasi, kita bisa memotret perjalanan partai politik dari masa ke masa, dari rezim ke rezim. Pasca proklamasi kemerdekaan, terbuka kesempatan yang besar untuk mendirikan partai politik, sehingga bermunculanlah parti-partai politik Indonesia. Melalui Maklumat X yang diumumkan oleh Bung Hatta pada 3 November 1945. Seorang ilmuan politik Miriam Budiardjo pernah mengungkapkan bahwa partai poitik lahir sebagai wadah organisasi yang menyatukan orang-orang yang mempunyai pikiran serupa sehingga pikiran dan orientasi bisa dikonsolidasikan, dengan begitu pengaruh bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan.

Namun, peran Partai Politik dalam demokrasi menjadi satu perhatian penting saat ini. Telah terjadi pergeseran peran sebagai mesin yang melahir pemikiran-pemikiran baru untuk merawat dan menumbuhkan bangsa pada bingkai cita-citanya. Partai politik telah mendegradasikan dirinya menjadi mesin percetakan tiket yang kemudian diperdagangkan menjelang pemilu? Berapa harga yang harus dikeluarkan untuk membeli tiket tersebut? Kira-kira 5 hingga 20 trilluan berdasarkan data yang dirilis oleh Institut Otda pada tahun 2021.

Kemudian pertanyaannya, siapa yang mampu membeli tiket yang begitu fantatis? Siapa lagi kalau bukan konglemerat, oligarki, atau para kumpulan pengusaha yang mempunyai kepentingan demi meraup keuntungan bisnisnya.

Apa yang kemudian partai politik lakukan setelah terjualnya tiket calon presiden dan wakil presiden? Maka bisa dipastikan partai politik sudah tidak punya kendali apa-apa dalam panggung perpolitikan dan kebijakan ditentukan oleh pemberi uang. Partai politik hanya menjadi penonton dalam aquarium sambil diberikan makanan agar tetap dalam intervensi pemilik modal. Karena ia berada dalam aqurium, itulah alasan mendasar kenapa suara parlemen hasil jualan tidak pernah terdengar membela rakyat.

Jualan tiket kursi politik atau mahar bukan sesuatu yang baru dalam sejarah pemilu Indonesia, dari bawah meja hingga ruang terbuka. Diskursus-diskursus mengenai politik mahar begitu banyak diangkat di media massa oleh para akademisi maupun politisi. Bahkan publik juga ikut mengkonsumsi isu tersebut, namun tidak ada yang benar-benar konsen dalam mengawal dan menyelesaikannya, baik dari berbagai kalangan yang dianggap punya peran dalam menuntaskan persoalan politik mahar, yang jelas-jelas merusak sistem pemilu dalam demokrasi.

Fokus mengkaji kembali peran partai politik dalam sistem politik demokrasi. Dalam bingkai sejarah berdirinya partai politik, partai politik diisi oleh para pemikir dan kaum intelektual, sehingga ruang diskusi begitu hidup ditengah perdebatan ide dalam membangun konsep dan sistem yang lebih matang untuk membangun Indonesia. Baik dari kelompok sosial, nasionalis, dan agamais. Itulah alasan kenapa partai politik layak disebut sebagai industri pemikiran, tempat para politisi dalam merangkai narasi.

Potret ini bisa kita temukan dari para tokoh  bangsa yang terlibat dan berdikari dalam partai politik. Seperti bung Karno penggagas Partai Nasional Indonesia dengan Muhammad Natsir dari Partai Masyumi yang saat itu mempunyai pemikiran yang berbeda tentang dasar negara, Kasman Singodimedjo dari Partai Masyumi yang kerap kali mengkritik pandangan dan sikap PKI terhadap Pancasila.  Tokoh politisi dari Partai Sosialis Indonesia yaitu Sjahrir, pertengkaran dengan lawan politiknya merupakan pertengkaran pemikiran, yang kerap kali memberikan pandangan yang berbeda dengan Soekarno, Seperti Agus Salim yang begitu piawai dalam berargumentasi dan mampu menguasai beberapa bahasa dunia, dan para politisi lainnya.

Kenapa ruang partai politik begitu hidup sebagai industri pemikiran, yang melahirkan ide dan narasi sebagai jalan perbaikan? Karena ruang politik diisi oleh para pemikir atau kaum intelektual, dan punya semangat pembelajar yang kuat. Partai Politik penting diisi oleh para akademisi, aktor politik punya peran dalam mengelola sebuah organisasi besar yang bernegara.

Lantas, apa yang terjadi jika ruang Partai Politik diisi oleh para pemilik popularitas? Bagaimana nasib panggung partai politik jika diduduki oleh para pengusaha? Dan apa jadinya jika bertemunya popularitas dengan uang?  Maka jangan heran, jika pada akhirnya elite politik  disetir oleh pemilik modal, tema diskusi hanya tentang profit dan keuntungan,  percakapan politik hanya sebatas pendekatan proyek atau uang, percakapan elit politik hanya sebatas narsis dan gaya-gayaan, tapi tidak memberi manfaat dalam mengambil kebijakan.

Kaum intelektual yang mempunyai kesadaran tentang ini, perlu mengambil peran ditengah kekosongan narasi, arah bangsa yang kian tidak jelas mau dibawa kemana, padahal negara-negara dibelahan dunia terus melangkah menghadapi tantangan global yang semakin kompleks. Tidak hanya sekedar menonton dan mengkritisi para pelaku politik yang miskin moral dan ilmu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline