Lihat ke Halaman Asli

Butsaina Hamida Tabriz

Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia

Ketika Bahasa Indonesia Jadi Komoditas: Risiko Privatisasi di Dunia Digital

Diperbarui: 17 Desember 2024   15:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bahasa. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Jcstudio

Bahasa adalah salah satu identitas bangsa yang paling fundamental. Di Indonesia, bahasa Indonesia bukan hanya alat komunikasi, tetapi juga simbol persatuan dari keberagaman budaya. Namun, di era digital yang semakin berkembang pesat, bahasa Indonesia mulai menghadapi tantangan baru: privatisasi oleh perusahaan teknologi yang beroperasi di ranah kecerdasan buatan atau yang kini marak disebut dengan AI atau Artificial intelligence.

Dalam konteks globalisasi dan kemajuan teknologi digital, bahasa ini semakin diposisikan sebagai komoditas. Fenomena ini tidak hanya menciptakan peluang baru bagi penutur bahasa Indonesia untuk terlibat dalam ekonomi digital global, tetapi juga membawa risiko privatisasi yang signifikan.

Dalam era digital saat ini, banyak platform online yang menggunakan bahasa Indonesia untuk menjangkau pengguna di seluruh dunia. Media sosial seperti Facebook, Instagram, dan Twitter telah mengadopsi bahasa ini sebagai salah satu cara untuk berinteraksi dengan pengguna. Selain itu, aplikasi komunikasi seperti WhatsApp dan Telegram juga menyediakan antarmuka dalam bahasa Indonesia. Hal ini menciptakan peluang bagi penutur bahasa Indonesia untuk terlibat dalam ekonomi digital global.

Namun, penggunaan bahasa Indonesia dalam konteks komersial sering kali tidak memperhatikan nilai-nilai budaya dan linguistik yang melekat pada bahasa tersebut. Menurut (Kurniawan, M. A. 2018) mengatakan penggunaan bahasa dalam platform digital sering kali diarahkan oleh kepentingan bisnis daripada pelestarian budaya. Banyak perusahaan teknologi besar lebih memilih untuk mengadaptasi konten mereka ke dalam format yang paling menguntungkan secara finansial tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang terhadap keberlangsungan bahasa dan budaya lokal.

Kamus Besar Bahasa Indonesia menyebutkan privatisasi sebagai proses, cara, perbuatan dari milik negara menjadi milik perseorangan. Bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu bangsa telah berkembang menjadi elemen penting dalam interaksi sosial, pendidikan, dan komunikasi publik. Namun, di era digital, bahasa ini menghadapi tantangan baru berupa komodifikasi, yakni proses di mana bahasa dijadikan aset ekonomi yang dapat diperjualbelikan. Privatisasi bahasa Indonesia dalam konteks ini melibatkan penguasaan elemen-elemen bahasa oleh perusahaan teknologi atau entitas komersial, yang dapat berujung pada berbagai risiko, termasuk eksklusivitas akses, manipulasi data linguistik, dan hilangnya kedaulatan budaya.

Menurut (Cameron D. 1998) seorang pakar linguistik dari Universitas Oxford, komodifikasi bahasa adalah gejala global di mana bahasa dianggap sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi untuk keuntungan ekonomi. Hal ini terlihat jelas pada perkembangan teknologi seperti mesin penerjemah, asisten virtual, dan sistem pengenalan suara, di mana data linguistik menjadi komponen utama. Dalam konteks bahasa Indonesia, privatisasi dapat terjadi ketika perusahaan teknologi besar menggunakan data bahasa untuk mengembangkan produk berbasis kecerdasan buatan tanpa mempertimbangkan implikasi sosial dan kulturalnya.

Bahasa Indonesia juga menjadi subjek perhatian di tengah kompetisi global dalam teknologi. Data linguistik yang berasal dari bahasa ini sering kali diekstraksi melalui interaksi pengguna dengan aplikasi digital, mulai dari media sosial hingga layanan berbasis suara. Sayangnya, pengumpulan data semacam ini sering kali dilakukan tanpa transparansi yang memadai, sehingga pengguna tidak sepenuhnya menyadari bahwa mereka berkontribusi pada komodifikasi bahasa mereka sendiri.

Privatisasi merupakan salah satu upaya pemerintah untuk mengalihkan sebagian atau keseluruhan aset yang dimiliki dan pengelolaan perusahaan dari negara kepada pihak swasta untuk mengurangi inefisiensi, informasi yang asimetri, biaya sosial, dan intervensi pemerintah yang mengakibatkan kegagalan pasar  (Mardjana dalam Dwidjowijoto dan Wrihatnolo, 2008). Jika hal ini diterapkan pada layanan berbasis bahasa Indonesia, masyarakat yang kurang mampu mungkin kehilangan akses ke alat-alat penting seperti aplikasi penerjemahan atau pembelajaran bahasa.

Privatisasi bahasa terjadi ketika perusahaan-perusahaan swasta mengambil alih pengembangan dan distribusi konten berbahasa Indonesia. Misalnya, platform-platform seperti Google Translate atau Duolingo menawarkan layanan penerjemahan dan pembelajaran bahasa dengan algoritma yang dikembangkan secara komersial. Meskipun memberikan akses mudah bagi pengguna, hal ini juga menimbulkan pertanyaan tentang kualitas dan akurasi penggunaan bahasa.

Salah satu risiko utama dari privatisasi bahasa adalah hilangnya kontrol atas penggunaan dan perkembangan bahasa itu sendiri. Ketika perusahaan swasta mendominasi penyediaan layanan berbasis bahasa, mereka memiliki kekuatan untuk menentukan bagaimana bahasa digunakan dan diajarkan. Ini dapat mengarah pada homogenisasi budaya linguistik di mana variasi dialek atau istilah lokal tidak lagi dihargai.

Dampak negatif lainnya dari privatisasi adalah potensi penurunan kualitas pendidikan bahasa itu sendiri. Dengan semakin banyaknya aplikasi pembelajaran berbasis algoritma yang tersedia secara gratis atau dengan biaya rendah, ada risiko bahwa pengguna akan lebih memilih metode belajar instan tanpa memahami dasar-dasar tata bahasa atau kosakata dengan baik. Hal ini bisa berdampak pada kemampuan generasi muda dalam menggunakan Bahasa Indonesia secara efektif.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline